Pulus Binong, Mata Air Terakhir?

Sumber:Pikiran Rakyat - 13 Juli 2006
Kategori:Air Minum
PERJALANAN kurang lebih setengah jam dari Cicaheum, Kota Bandung, mendapat sedikit kesegaran saat melihat salah satu dari tiga mata air besar di Desa Cimenyan, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung, masih mengucur. Mata air itu disebut Pulus Binong, yang digunakan untuk mengairi dua rukun warga (RW) di Desa Cimenyan.

Namun, bagi warga setempat, kucuran itu bukanlah kesegaran melainkan telah berubah menjadi kesedihan karena debit airnya telah jauh berkurang. Dulu, mata air Pulus Binong ditambah dua mata air lainnya yaitu Limus Tilu dan Cibuntu, mampu mengairi 320 hektare areal persawahan di sana. Karena debit air berkurang, areal itu hanya tinggal 10 persennya.

Sekarang, mata air Pulus Binong lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga bagi penduduk dua RW yang totalnya 120 kepala keluarga itu. Untungnya, mata air yang tanahnya telah menjadi milik perorangan itu tidak dikomersialisasikan.

"Gratis, teu aya iuran," ujar Aan, Kepala Dusun Cimenyan. Pengambilan air di sana pun tidak digilir dan dianggap masih mencukupi kebutuhan masyarakat.

Berbeda dengan mata air Limus Tilu yang sudah dikelola perusahaan milik swasta. Dengan pengelolaan swasta, mata air yang letaknya empat kilometer dari reservoir di Kel. Mandala Mekar, Kec. Cimenyan itu mampu mengairi 200 rumah di Desa Mandala Jati.

Pengelolaan swasta tentunya membutuhkan biaya. Setiap rumah pun wajib menyediakan Rp 2 juta untuk pemasangan instalasi dan meteran air. Setiap meter kubik air pun harus dibayar dengan kisaran Rp 750 sampai Rp 2.000,00.

Baik dikelola masyarakat maupun swasta, masyarakat memang berperan penting dari kepemilikan dan penggunaan mata air di Desa Cimenyan. Namun, apakah upaya konservasi supaya mata air di wilayah yang termasuk kawasan lindung itu tetap ada?

Sekadar menggunakan tanpa melestarikan, hal itu memiliki dampak seperti yang sudah terjadi sekarang yaitu debit airnya berkurang. Bukan tidak mungkin, mata air itu lama-kelamaan berhenti mengucur.

Kesadaran itu memang dirasa kurang bagi Dadan Kurnia, anggota masyarakat yang dulunya menjabat sebagai Ketua I Badan Perwakilan Desa (BPD) Cimenyan, Kec. Cimenyan. "Ada sebagian petani yang masih kurang peduli. Jadi, dalam pemikiran dia, bercocok tanam itu harus terhindar dari pepohonan yang keras. Harus dengan lahan terbuka," kata Dadan yang lebih akrab dipanggil Acep.

Sebagai anggota masyarakat yang lahir, tumbuh, dan akhirnya mencari mata pencaharian di Desa Cimenyan, ia tahu benar mengenai berkurangnya debit air. Meski belum pernah dihitung, berkurangnya areal persawahan ia yakini disebabkan oleh berkurangnya debit air.

Berbagai upaya pelestarian yang merupakan program pemerintah dan swadaya telah dilakukan. Namun, Acep mengaku, hal itu belum memuaskan sebagai upaya pelestarian mata air.

Penggunaan lahan hutan menjadi lahan terbuka untuk bercocok tanam memang menjadi satu masalah. Namun, tambahan masalah baru di Desa Cimenyan adalah penggunaan mata air untuk perumahan di sekitar desa yang dibangun pengembang dari luar desa.

Kesempatan masyarakat untuk mendapatkan air pun semakin sedikit karena tanah yang menyerap air ditutupi oleh pondasi. Dan, sementara pembangunan perumahan masih terus berlangsung, lahan Desa Cimenyan menjadi gundul dan diwarnai merahnya tanah menggantikan hijaunya hutan. (Vebertina Manihuruk/"PR")

Post Date : 13 Juli 2006