|
[TEMANGGUNG] Puluhan mata air di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) pada musim kemarau ini mulai mengering dan tidak mengeluarkan air lagi. Akibatnya, masyarakat di lembah Gunung Sindoro-Sumbing ini menderita krisis air bersih. Ada tiga wilayah kecamatan yang diprediksi akan terjadi krisis air berat, yaitu Kranggan, Pringsurat, dan Kaloran. Kepala Sub Dinas Pelestarian Lingkungan Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapepalda) Kabupaen Temanggung, Sumiyono ketika dikonfirmasi Senin (30/6) membenarkan ketiga kecamatan yang terdiri dari 67 desa tadi merupakan daerah rawan kekeringan parah setiap musim kemarau. "Ketiga kecamatan tadi merupakan daerah yang mempunyai curah hujan paling rendah, yaitu rata-rata hanya 1.863 milimeter/tahun," katanya. Secara geologis, tambahnya, daerah tersebut juga mempunyai lapisan kedap air yang sulit ditembus. Jadi, air tidak bisa terserap. Daerah Kranggan hanya ada satu sumber air besar, yaitu Belik Pare, yang merupakan sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Di kecamatan Pringsurat ada enam sendang yang digunakan untuk pertanian. Sementara di Kecamatan Kaloran, sama sekali tidak ada mata air besar. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat mengambil dari Kali Manggis Candisaron, Sumowono yang sudah masuk wilayah Kabupaten Semarang. Warga pernah menggali sumur di Pringsurat, sampai kedalaman 90 meter, tapi belum keluar air, katanya. Sampai saat ini, menurut data Bapepalda Temanggung, sudah ada 77 mata air besar yang sudah mati, dan tidak mengeluarkan air lagi. Sementara itu, warga Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu, sudah 10 hari ini mengantre air bersih. Mereka berharap pemerintah memberikan bantuan berupa pipa besi untuk menyalurkan air dari mata air Kruwisan, Kecamatan Kledung yang berjarak sekitar 14 kilometer (km) dari desa tersebut. Membendung Sungai Sedikitnya 125 petani di empat desa, yaitu Pahonjean, Mulyasari, Padangsari, dan Muyadadi, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jateng, sejak sepekan terakhir bergotongroyong membendung Sungai Cilopadang untuk mengairi sawah mereka yang mulai kekeringan. "Kalau kami tidak berswadaya membendung Sungai Cilopadang, maka 1.046 hektare (ha) tanaman padi di empat desa ini akan mati kekeringan," kata Ahmad Robitoh (52) tokoh petani Majenang. Bendungan darurat itu menggunakan batang kayu bambu yang dirangkai melintang di sungai, kemudian diuruk dengan tanah. Dengan cara sederhana ini, bendungan darurat itu bisa menahan air untuk dialihkan ke saluran yang kemudian diteruskan ke sawah petani. Ketua panitia pembangunan bendungan swadaya, Darimun (50) mengatakan, pembuatan bendungan darurat ini selalu dilakukan untuk menyelamatkan 1.046 ha sawah di empat desa tadi. Karena setiap kemarau tiba, air irigasi mengering, sehingga para petani memanfaatkan Sugai Cilopadang. Caranya, sekitar 125 petani di empat desa yang memiliki sawah bergotong-royong membeli bambu dan kayu untuk membendung Sungai Cilopadang. Kerangka bendungan tersebut membutuhkan sekitar 107 batang kayu dan bambu yang dibeli secara gotong royong. Ada pula petani yang memiliki banyak tanaman keras menyumbang batang pohon untuk tonggak bendungan. Untuk mengambil dan menimbunkan tanah ke bendungan, juga digunakan alat berat. Biaya sewa alat berat ini mencapai Rp 2,5 juta per hari. Panitia mengeluarkan dana untuk tenaga kerja bayaran yang terdiri dari para tukang, dengan upah Rp 30.000 per hari. Sementara itu, sejumlah petani di Desa Sidorejo, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Minggu (29/6) mengambil air dari sumur pompa di tengah sawah untuk mengairi tanaman tembakau dan bawang merah. Di musim kemarau ini, para petani mulai kesulitan mendapatkan air, sehingga mereka terpaksa berusaha mencari air dengan berbagai cara, untuk areal pertaniannya. [WMO/M-11] Post Date : 30 Juni 2008 |