|
NUSA DUA (SINDO) Wetland International melaporkan, 2.000 juta ton emisi CO2 Indonesia per tahun berasal dari lahan gambut yang terdegradasi. Lahan gambut merupakan salah satu penangkap karbon terbesar di dunia. Dari hasil penelitian di Kalimantan dan Sumatera itu,Wetland berharap Pemerintah Indonesia menyadari peluang untuk mengurangi emisi dari lahan gambut yang terdegradasi. Ini masalah berat yang sangat memprihatinkan dan melibatkan sekitar 13 juta lahan gambut. Biaya untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak itu sangat mahal.Emisi lahan gambut ini mencapai ratusan ton CO2 per tahun, ungkap Gabriel Chong, juru bicara Wetland International,kemarin. Cara terbaik untuk mengembalikan fungsi lahan gambut itu ialah dengan upaya restorasi berupa pembuatan bendungan dan reboisasi hutan. Upaya restorasi sangat murah, hanya sekitar 1 euro sen untuk setiap ton CO2 yang dapat dihindari, kata Chong. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan nilai kredit karbon yang harus dibayar oleh negara Annex I untuk mengurangi emisi CO2. Ini termasuk investasi dalam kampanye kepedulian dan menyediakan tata cara hidup berkesinambungan, kata Chong. Sementara itu,badan lingkungan terbesar di dunia, Global Environment Facility (GEF), berencana meluncurkan Inisiatif Laporan Hutan Tropis (TFAI). Dengan instrumen itu, GEF berharap dapat membantu menyelamatkan ekosistem dan manajemen hutan berkelanjutan. Menurut CEO dan Ketua GEF Monique Barbut, upaya penyelamatan hutan tropis harus dilakukan dengan cepat. Hal ini karena hutan tropis merupakan penjaga lingkungan global yang terancam. Saat ini, kerusakan hutan telah mengancam ekosistem di Amazon, Kongo Basin, Nugini, dan Kalimantan. GEF terdiri atas lembaga-lembaga mitra, pemerintah, pengusaha, civil society, untuk menghadapi tantangan ke depan. GEF juga mendorong pendanaan dari investor swasta untuk membangun pasar hutan bersahabat,kata Barbut. GEF akan mendanai proyek-proyek penghentian kerusakan hutan di 17 negara, termasuk di hutan Amazon, Kongo Basin, Nugini, dan Kalimantan. Kerusakan hutan saat ini menyumbangkan 20% emisi CO2 global.Kerusakan hutan juga mengancam punahnya keanekaragaman hayati global. Hilangnya habitat di hutan tropis mengancam 74% satwa mamalia, 44% burung langka, dan 68% karbon hutan tropis. Lebih dari 70% hutan yang masih ada terancam hancur, ungkap Barbut. Dengan fokus pada hutan tropis yang terancam rusak, GEF dapat berinvestasi dengan biaya yang murah,mencegah kerusakan hutan dengan langkah proaktif. Untuk melakukan tindakan intervensi saat ini melibatkan biaya lebih mahal dibandingkan mencegah kerusakan hutan yang telah terjadi. Investasi GEF akan mendanai penguatan dan pendanaan berkesinambungan untuk melindungi wilayah jaringan kerja,mengenalkan kebijakan dan regulasi efektif untuk konservasi hutan di sektor pembangunan. GEF juga akan mendorong agar pasar untuk hutan bagus, kata Barbut. (syarifudin) Post Date : 10 Desember 2007 |