Pulau Derita Itu Bernama Jawa

Sumber:Kompas - 07 Januari 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Tohari (70) mengerang kesakitan ketika lumpur di seluruh tubuhnya dibersihkan perawat Rumah Sakit Umum Daerah Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (4/1) siang. Setelah dimandikan, puluhan jahitan menusuk bagian kepalanya.

Setelah kemampuan bius lokalnya mereda, ia mengaduh-aduh lagi. Korban tanah longsor yang menimbun Kampung Gunungrejo, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, ini kemudian tak sadarkan diri sambil memanggil beberapa nama keluarganya yang hilang.

Penderitaan Tohari merupakan cuplikan derita dari ratusan korban bencana alam banjir dan longsor yang melanda sejumlah lokasi di Pulau Jawa pada musim hujan ini. Selain kehilangan rumah dan harta bendanya, ia juga kehilangan keluarga dan tetangganya. Kampungya yang diisi 102 rumah dengan 185 jiwa penghuni sudah berubah menjadi tanah datar.

Derita warga Pulau Jawa berlangsung sepanjang masa. Pada musim hujan ini bencana alam banjir dan longsor datang bertubi-tubi, padahal di musim kering pulau sarat beban berpenduduk hampir 130 juta jiwa ini justru krisis air.

Persepsi masyarakat langsung menghukum rusaknya lingkungan, terutama hutan yang dikelola Perum Perhutani, sebagai penyebabnya. Walaupun pada kasus banjir bandang yang menewaskan 51 warga di Kabupaten Jember, Jawa Timur, hujan deras disertai jebolnya kawah-kawah cekungan air diduga menjadi penyebab utama bencana. Faktor lainnya kondisi daerah aliran sungai dan daerah resapan yang kurang memadai.

Direktur Utama Perum Perhutani Transtoto Handadhari mengakui bahwa sejak reformasi banyak hutan gundul akibat penjarahan yang bisa menimbulkan potensi bencana. Di seluruh Jawa 60 persen hutan Perhutani berpotensi sangat rawan bencana di luar kawasan, sedangkan 40 persen lainnya di dalam kawasan.

Komposisi dan distribusi hutan Jawa saat ini tidak akan mungkin mampu menahan datangnya bencana banjir dan longsor. Hutan negara yang dikelola Perhutani seluas 2,56 juta hektar (22 persen dari luas daratan Jawa) berupa 1,85 juta hektar hutan produksi yang berada di daerah datar. Sekitar 700.000 hektar yang berada di kawasan hutan lindung.

Sementara itu, lahan milik masyarakat di luar kawasan hutan luasnya 3-4 juta hektar berada di daerah potensial membuat bencana di Jawa. Masalahnya tidak ada orientasi untuk merelokasi status lahan-lahan tersebut menjadi kawasan hutan. Bahkan sekadar enforcement untuk melakukan konservasi dan perlindungan penuh terhadap lahan-lahan rawan pembuat bencana tersebut.

Demikian juga terhadap permukiman yang berada di bantaran sungai atau bahkan di lereng- lereng bibir sungai, yang seharusnya menurut UU Lingkungan Hidup 50 meter kanan-kiri tidak boleh ada hunian atau aktivitas. Paling tidak kini diperlukan perubahan mindset masyarakat, termasuk pejabat-pejabat pembangunan, untuk lebih konservatif dan rela melakukan tindakan-tindakan yang lebih mementingkan keselamatan lingkungan.

Percepat reboisasi

Pihak Perhutani berusaha mempercepat reboisasi di seluruh kawasan hutan yang gundul. Kami targetkan seluas 101.000 hektar. Sementara untuk target jangka panjangnya, sampai tahun 2010 tidak ada lagi kawasan hutan Perhutani yang kosong, lanjut Transtoto.

Akan tetapi, program reboisasi tidak semudah membalikkan tangan. Praktisi kehutanan Untung Iskandar dan Agung Nugraha dalam buku Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan (2004) menilai program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) saja cenderung menjadi rentetan kegagalan reboisasi. Bahkan Perum Perhutani ditengarai gagal merehabilitasi dan mereboisasi hutan jati yang menjadi kewenangannya sebagai badan usaha.

Menurut informasi terkini, hutan gundul di Pulau Jawa tercatat sekitar 750.000 hektar dari seluruh kawasan Perum Perhutani. Proklamasi habisnya lahan kosong pada tahun 1972 ternyata tidak terbukti.

Proyek Inpres Reboisasi dan Penghijauan tahun 1974/1975 sampai dengan lima tahun berikutnya juga gagal dan beberapa pejabatnya harus mempertanggungjawabkan secara hukum karena dugaan manipulasi dana. Sebelumnya, tahun 1970-1974 program penghijauan DAS juga tidak berhasil membangun hutan dan merehabilitasi lahan kritis. Ironisnya, sejak awal GNRHL tidak dirancang sebagai bagian integral dari pembangunan berlanjut.

Secara nasional tren bencana banjir dan tanah longsor ini sudah terjadi sejak 1999. Di Jawa saja sejak 1999 sampai 2003 ada 26 kejadian. Masalahnya, informasi peta daerah rawan bencana dari tingkat nasional terlalu makro, tidak detail.

Memang orang bisa mengetahui wilayah rawan bencana, tapi kan terjadinya bencana itu bersifat lokal, ujar Hariadi Kartodihardjo, pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Fenomena di Jember ini sebenarnya hampir sama dengan di Pacet, Jawa Timur. Diawali dengan terjadinya bendungan alam yang kemudian karena tidak mampu menahan arus, akhirnya jebol.

Kejadian seperti ini selalu berulang dan penanganannya selalu terlambat karena tidak ada satu kebijakan menyeluruh. Kondisi ini terjadi karena terkait persoalan struktural. Instansi-instansi pemerintah kerja orientasinya bukan wilayah, tetapi berdasarkan komoditas-komoditas sektoral bernilai ekonomi.

Orientasi ini bertumpu pada persoalan produksi dan ekonomi sumber daya alam. Misalnya, kalau soal hutan berkutatnya hanya pada produksi kayunya. Persoalan bagaimana daya dukung sumber daya alam jika dieksploitasi terus-menerus tak terpikirkan.

Libatkan pemerintah daerah

Secara regulasi sebenarnya ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang di dalamnya sudah ada pengelolaan berbasiskan daerah aliran sungai (DAS). Namun, persoalan DAS di mana-mana seragam, yaitu selalu tidak ada koordinasi horizontal antarinstansi yang terlibat.

Dinas-dinas yang ada koordinasinya hanya vertikal. Misalnya dinas pertanian kabupaten dengan dinas pertanian provinsi dan Departemen Pertanian. Namun pertanyaannya, bagaimana koordinasi pertanian dengan kehutanan, pertambangan, pariwisata secara horizontal tak pernah terjadi. Padahal koordinasi horizontal itu kunci pengelolaan DAS, tutur Hariadi.

Upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi laju bencana tentu saja harus melibatkan pemerintah kabupaten karena mereka yang paling tahu mengenai peta potensi bencana. Namun, apabila dilihat dari potensi daerah dan kemampuannya yang tidak memadai, seharusnya secara nasional sudah mengambil alih peran tersebut.

Saat ini harus ada identifikasi wilayah-wilayah yang sangat mungkin terjadinya longsor dan banjir terutama di daerah-daerah perbukitan yang di bawahnya atau di bagian hilirnya terdapat permukiman atau daerah wisata. Ini perlu segera menjadi prioritas untuk kemudian menentukan seberapa jauh kemungkinan terjadinya bencana itu.

Jika identifikasi sudah selesai dan bisa memprediksikan bencana, tentunya perlu disiapkan langkah pengamanan dengan evakuasi dini sebelum terjadinya bencana itu. Semestinya prosedur ini bisa dilakukan karena waktunya tidak lama hanya sekitar tiga bulan, waktu musim hujan, katanya. Dengan adanya peta bencana yang detail, peringatan bisa dilakukan sejak dini.

Hujan lebat yang berlangsung sore hingga malam hari berpeluang terjadi di wilayah selatan khatulistiwa Indonesia, terutama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, sepanjang Januari hingga awal Februari. Hujan lebat juga diperkirakan terjadi di Palembang, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Tingginya curah hujan di wilayah tersebut akibat pertemuan angin barat yang membawa banyak uap air dari daratan Asia dengan angin timur dari benua Australia. Membaca ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika ini derita warga Jawa tampaknya belum mau reda. (Amir Sodikin/ Sri Hartati Samhadi)Oleh Dedi Muhtadi

Post Date : 07 Januari 2006