|
NGANJUK--Perusahaan pabrik kertas, PT Jaya Kertas di Kertosono, membantah bahwa limbah pabrik tersebut mencemari lingkungan sekitar dan sumur-sumur penduduk. Selain itu, perusahaan kertas daur ulang itu juga membantah limbah dari pabrik tersebut telah menyebabkan gatal-gatal dan sesak nafas bagi warga. ''Kalau limbah ini menyebabkan warga sesak nafas dan gatal-gatal, itu tidak benar. Kalau kemudian ada warga yang sakit lalu ditimpakan kepada pabrik ini, saya kira juga berlebihan. Karena air limbah yang dikeluarkan pabrik sudah melalui proses di Unit Pengolahan Limbah atau UPL,'' ujar direktur perusahaan PT Jaya Kertas Ongko Prayitno, Selasa (19/10). Untuk membuktikan masalah itu, kemarin, Ongko Prayitno mengundang Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kabupaten Nganjuk untuk memeriksa UPL. Bahkan, wartawan juga dipersilahkan untuk melihat secara langsung UPL tersebut. ''Silakan lihat dan teliti sendiri. Ini UPL terus aktif memproses limbah. Silakan untuk meneliti dan menguji. Apakah memang limbah air yang dikeluarkan pabrik ini melebihi ambang batas,'' tandas Ongko kepada para wartawan dan sejumlah pegawai DKLH, termasuk Kadis DKLH Agus Suharto. Menurut Ongko, proses limbah di pabrik tersebut melalui empat tahapan sebelum akhirnya dialirkan ke Sungai Klinter. Dalam empat tahapan itu, air yang dialirkan ke Klinter sudah terbebas dari berbagai kandungan. ''Kalau kemudian air di sungai itu menjadi berwarna, karena air di situ kan tidak bisa mengalir. Dari situlah karena mungkin terjadi proses kembali, akhirnya berwarna. Jadi warna itu bukan dari proses kimia dalam pabrik,'' tegas Ongko. Bukti lain bahwa air limbah tersebut sudah terbebas dari segala macam bakteri atau unsur-unsur lain, menurut Ongko, bisa dilihat dari penggunaan pengairan lahan pertanian oleh para petani di sejumlah desa. Dari pengairan itu, kondisi tanaman malah menjadi subur. ''Kalau ada unsur kimia, mungkin tanaman milik petani seperti di Desa Pisang sudah mati. Malahan petani sendiri yang minta pengairan itu,'' tegasnya. Meski demikian, menurut Ongko, PT Jaya Kertas tetap memperhatikan masalah tersebut. Sejumlah desa yang dialiri Sungai Klinter, seperti Nglawak, Kemaduh, Lambang Kuning, Pisang dan Pandantoyo tetap diberi ganti rugi. Ganti rugi ini sebagai biaya pembersihan sungai pada musim kemarau. Besarnya ganti rugi tiap desa bervariasi, ada yang Rp 18 juta, Rp 13 juta, Rp 9 juta dan Rp 7 juta. Sementara itu menurut Kadis DKLH Nganjuk Agus Suharto, masalah limbah di Sungai Klinter tersebut menjadi masalah saat musim kemarau, bersamaan dengan mengeringnya sungai. Karena kering, praktis air yang ada di sungai itu hanya berasal dari limbah PT Jaya Kertas. ''Kalau musim hujan tidak ada masalah. Karena air limbah dari PT Jaya Kertas ini langsung digelontor air sungai. Kalau musim kemarau ini kan tidak bisa mengalir. Akhirnya bau seperti yang dikeluhkan warga,'' ujar Agus Suharto. Laporan : juw Post Date : 20 Oktober 2004 |