Proyek Mega Mencegah Banjir

Sumber:Majalah Gatra - 31 Mei 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Gagasan mencegah banjir tahunan Jakarta bermunculan. Dari pembuatan terowongan raksasa hingga pemanfaatan sungai purba. Tapi butuh biaya trilyunan. Dijamin efektif?

Marco Kusumawijaya, seorang arsitek perkotaan yang juga aktivis lingkungan, minta maaf pada seorang wartawati televisi. ''Maaf, saya cuma punya jawaban yang sama dengan lima tahun lalu,'' katanya.

Sang wartawati bertanya tentang penyebab utama banjir bandang yang melanda Jakarta, Februari lalu. ''Tak apa-apa. Pertanyaan saya juga sama dengan lima tahun lalu,'' tuturnya.

Eh, tiba-tiba ada yang nyeletuk, ''Gubernurnya juga masih sama!''

Apa boleh buat, banjir memang telah menjadi tamu tetap Ibu Kota. Ia bahkan tak hanya berkunjung lima tahun sekali, tapi setidaknya hampir setahun sekali. Bahkan ''oleh-oleh'' yang ditinggalkannya makin dahsyat. ''Banjir 2007 lebih parah dibandingkan dengan 2002,'' kata Marco.

Kawasan yang diterjang banjir terakhir lebih luas 10% ketimbang 2002. Karena itu, warga yang harus mengungsi pun mencapai 399.000 jiwa, meningkat hampir dua kali lipat. Kerugian harta benda juga membengkak.

Menurut kalkulasi Marco, banjir pada 2002 membuat Jakarta rugi hingga Rp 1,8 trilyun. ''Kerugian banjir tahun ini diperkirakan mencapai Rp 4 trilyun,'' kata Marco.

Itulah fakta yang terungkap dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), yang diselenggarakan Kaukus Lingkungan Jakarta dan Dewan Perwakilan Daerah di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa dua pekan lalu. RDPU juga membahas sejumlah rencana proyek penanggulangan banjir yang selama ini santer terdengar.

Pemda DKI Jakarta, misalnya, bekerja sama dengan Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI, mengusulkan konsep pembangunan terowongan bawah tanah multifungsi (multi-purpose deep tunnel --MPDT). Kantor Kementerian Ristek dan Teknologi juga tak ketinggalan. Bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Universitas Indonesia (UI), mereka membuat rancangan waduk serapan berdasarkan aliran sungai purba (lihat: Mencari Bantuan Sungai Purba).

Dari sekian banyak usulan, rancangan MPDT adalah yang paling menggebu. Pemda DKI dan Badan Regulator rajin melakukan sosialisasi. ''Sekarang rancangan MPDT ini dalam tahap feasibility study dari Bappenas dan Departemen Pekerjaan Umum,'' kata Achmad Lanti, Ketua Badan Regulator. Setelah studi kelayakan rampung, barulah dibentuk tim formalnya.

Konsep awal MPDT sebenarnya pernah diusulkan Firdaus Ali, PhD, pakar teknologi lingkungan dari UI yang juga menjadi anggota Badan Regulator. Ide itu, menurut Firdaus, diperolehnya ketika belajar di Amerika Serikat pada 1970-an. ''Ketika itu, saya melihat bagaimana Pemerintah Negara Bagian Chicago mengatasi banjir akibat salju yang mencair,'' ujar Firdaus.

Pada saat itu, Sungai Chicago mirip Sungai Ciliwung. Airnya hitam pekat dengan bau menyengat. ''Lalu konsep deep tunnel ini dipakai untuk mengatasi masalah itu. Konsep itu sesuai, karena lahan mereka sempit seperti Jakarta,'' kata Firdaus.

Ketika Jakarta mulai dilanda banjir tahunan, Firdaus memperkenalkan gagasan MPDT pada 2005. Namun tak banyak mendapat tanggapan. Lagi pula, membangun terowongan raksasa bawah tanah memang butuh biaya besar. ''Padahal, sebenarnya kerugian banjir Jakarta itu bisa lebih tinggi ketimbang membangun konsep ini,'' ujar Firdaus.

Benar saja, banjir kemudian melanda Jakarta, Februari lalu. Ini lebih besar dari banjir 2002. Pemda DKI kalang kabut. Gubernur DKI Sutiyoso pun memanggil Firdaus dalam rapat tertutup Pemda DKI untuk menjelaskan konsepnya sekali lagi.

Sejak itu, konsep ini mulai digarap. Menurut Firdaus, sesuai dengan namanya, terowongan raksasa ini tak hanya untuk banjir. Ibaratnya, sekali tepuk, dua-tiga lalat mati. Jadi, sekali membangun, dua-tiga masalah diharapkan dapat diatasi.

Menurut Firdaus, jika dibangun sesuai rencana, MPDT mampu mengatasi lima masalah yang terkait dengan sumber daya air sekaligus. ''Yaitu banjir, kelangkaan air bersih, pengolahan limbah cair, restorasi sungai, dan air tanah serta pengendalian instrusi air laut,'' papar Firdaus.

Wow, apakah itu benar-benar bisa terjadi? Menurut Firdaus, sudah banyak terowongan seperti ini di luar negeri. ''Selain di Chicago, ada juga di Singapura untuk mengolah limbah. Juga di Malaysia seperti proyek SMART yang, selain mengendalikan banjir, juga untuk transportasi,'' kata Firdaus.

MPDT nanti lebih memfokuskan pada masalah banjir dan transportasi. Ia akan dibangun 15 meter di dalam tanah, dengan panjang mencapai sekitar 22 kilometer (lihat grafik). Untuk langkah awal, pembangunan MPDT akan dimulai di kawasan Jalan M.T. Haryono, berdekatan dengan Supermarket Carrefour, yang dilalui Sungai Ciliwung. ''Jika banjir terjadi, air bah akan disalurkan melalui pipa vertikal, lalu dibuang ke Teluk Jakarta. MPDT ini mampu menampung air hingga 2,5 juta meter kubik,'' kata Achmad Lanti.

Menurut rencana, nanti setidaknya ada 34 titik MPDT yang tersebar di Jakarta yang akan mengambil alih genangan air. ''Titik-titik ini diharapkan dapat menyerap air di kawasan rawan banjir,'' tutur Firdaus.

Namun, jika banjir tak datang atau pada musim kemarau, katup air dan MPDT bisa beralih fungsi. Yakni menjadi jalan tol bawah tanah. Jalurnya mulai dari Jalan M.T. Haryono dan berakhir di kawasan Jelambar, Jakarta Utara. Sejumlah pintu masuk atau keluar bisa dibangun di sepanjang pipa MPDT. ''Nanti ada sistem keamanan canggih yang menjaga lalu lintas dan keselamatan pengguna,'' kata Achmad.

Selain itu, MPDT juga berfungsi menampung limbah cair kota Jakarta. Dari terowongan, limbah akan dialirkan ke sebuah tangki raksasa di dalam tanah (lihat grafik). Di sinilah limbah cair mulai diolah. ''Endapannya dapat diolah menjadi pupuk organik atau material bangunan,'' ujar Firdaus.

Selain itu, limbah cair ini dapat juga menjadi sumber energi alternatif seperti biogas metan (CH4). ''Jadi, MPDT ini intinya juga dapat menghasilkan laba,'' tutur Firdaus.

Toh, sebelum dibangun, MPDT memang banyak menyedot dana. Untuk pembangunan sistem MPDT yang lengkap di wilayah Jakarta Pusat, misalnya, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 16,25 trilyun, dengan masa pembangunan empat tahun. Badan Regulator berharap, sumber pembiayaan terbanyak berasal dari swasta (70%) dan sisanya dari pemerintah (30%).

Menurut kalkulasi Badan Regulator, MPDT akan menelan biaya operasi dan pemeliharaan Rp 352 milyar per tahun. Namun, dari sisi penerimaan penggunaan jalan tol dan hasil-hasil pengolahan limbah lainnya, MPDT diharapkan dapat meraih keuntungan Rp 1,6 trilyun. ''Ini tentu sangat lumayan jika dibandingkan dengan kerugian akibat banjir berikut perbaikan sarana yang rusak, yang bisa mencapai Rp 42,6 trilyun,'' kata Firdaus.

Walau demikian, Achmad Lanti mengakui bahwa pihaknya juga harus realistis. ''Pembangunan MPDT ini hanya salah satu upaya untuk mengatasi banjir Jakarta,'' katanya. Karena itu, jika ingin Jakarta benar-benar bebas banjir, proyek ini harus didampingi dengan sejumlah proyek penanggulangan air bah lainnya, seperti Banjir Kanal Timur dan Barat, penggunaan waduk resapan, dan kesadaran lingkungan.

Hal terakhir itulah, menurut Marco, yang merupakan pencegahan terbaik. Kesadaran lingkungan itu terbentuk dengan ''prinsip DIY'' alias do it your self. ''Dalam kondisi ekonomi yang masih lemah begini, apakah masuk akal menunggu proyek mega seperti itu? Karena itu, harus kita mulai dari diri sendiri,'' kata Marco. Caranya simpel saja: tetap menjaga dan menghormati lingkungan.

Nur Hidayat, Mukhlison S. Widodo, dan Anthony



Post Date : 31 Mei 2007