|
Seorang laki-laki keluar dari mobil dan langsung berdiri di jembatan TB Simatupang. Tiba-tiba sebuah tas berisi sampah lepas dari tangan laki-laki itu dan meluncur terjun ke Sungai Ciliwung yang mengalir di bawahnya Awal Februari 2007, sebagian besar wilayah Jakarta terendam banjir selama hampir satu pekan. Banjir kali ini merupakan banjir yang terbesar dalam sejarah Jakarta, baik dari segi luas wilayah, maupun jumlah korban manusia dan rumah. Walau yang terbesar, bencana banjir besar ini bukan yang pertama. Catatan sejarah banjir Jakarta sudah dimulai sejak tahun 1600-an. Sebelum banjir 2007, Jakarta telah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan tahun 2002. Data geomorfologi memang menunjukkan Jakarta berdiri di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi dataran, sungai, rawa, pantai hingga genangan laguna. Di Jakarta mengalir 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Tidak mengherankan, dengan geomorfologi yang seperti ini, kota seluas 65.000 hektar dan dihuni 7,5 juta orang ini secara alami rawan terhadap genangan dari pasang air laut di utara dan limpasan banjir dari pegunungan di selatan. Apalagi 40 persen wilayah Jakarta adalah dataran rendah yang ketinggiannya hanya 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Melihat kondisi Jakarta yang rawan banjir, Belanda sudah memikirkan untuk membuat kanal yang bisa menampung air limpahan dari Sungai Ciliwung. Apalagi pada tahun 1918 terjadi banjir besar di Batavia. Untuk melindungi Batavia dari banjir, terutama daerah Batavia-Menteng, Belanda membuat kanal banjir yang dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat (BKB). Pada tahun 1923, BKB dibuat oleh Insinyur Herman van Breen. Belanda melihat, peningkatan debit Sungai Ciliwung yang sangat drastis dipicu konversi kebun karet menjadi kebun teh di kawasan Puncak pada abad ke-19. Akar tanaman karet mengikat air lebih banyak dibandingkan teh yang lebih kecil. Konversi ini menimbulkan bertambahnya air permukaan yang tidak terserap tanah. Kelebihan air permukaan meningkatkan debit dan berujung pada banjir Ciliwung di dataran rendah (Batavia). Saat ini kondisi BKB yang dibangun sejauh 17 kilometer dari Pintu Air Manggarai hingga arah Muara Angke di kawasan Teluk Gong itu, lebih parah. Pembangunan di kawasan hulu seperti Puncak, Depok, hingga Cibubur sangat pesat tanpa diberi kompensasi seperti sumur resapan. Akibatnya, debit air di BKB meningkat hampir dua kali lipat, yakni 560 meter kubik per detik dibanding desain awal yang memiliki kemampuan mengalirkan air maksimal 300 meter kubik per detik. Kanal Timur BKB ternyata tidak menampung limpahan air sungai yang membanjiri wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Untuk itu, sejak tahun 1973 pemerintah telah mencanangkan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sepanjang 23,5 kilometer. Dan, pada tahun 1987 dibuatkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta untuk pembangunan BKT. Jika BKT selesai dibuat, wilayah seluas 270 kilometer persegi di Jakarta Timur dan Jakarta Utara diharapkan terbebas dari banjir akibat luapan Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Namun, hingga akhir tahun 2007 pembangunan BKT belum juga selesai. Pembangunan yang dilakukan masih menyebar di beberapa titik. Penyebabnya, pembebasan tanah yang berlarut-larut. Wali Kota Jakarta Timur Koesnan Abdul Halim pernah menargetkan, pembebasan tanah ini akan selesai pada akhir tahun 2007. Kenyataannya, hingga kini masih 900 persil tanah lagi yang belum dibayar. Selain itu, ada 152 persil tanah yang sengketa sehingga pembayarannya dikonsinyasi ke pengadilan. Tertundanya pembebasan tanah, selain prosedur penelitian yang harus sampai ke Departemen Dalam Negeri, juga disebabkan terlambatnya aliran dana ke juru bayar. "Tahun ini saja anggaran baru turun bulan Juni. Dan, sempat terhenti dua bulan karena ada perubahan instansi yang mengurus pembebasan tanah, yakni dari wali kota menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional," jelas Koesnan. Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang bertanggung jawab soal pembangunan kanal timur mengakui, persoalan tertundanya penyelesaian pembangunan BKT bukan saja masalah pembebasan tanah, tetapi juga adanya sebuah menara SUTET PLN di Jalan Basuki Rahmat yang bakal terkena jalur BKT. "Seharusnya PLN yang bisa memindahkan menara itu, tetapi agaknya PLN enggan karena akan mematikan jaringan listrik di wilayah yang sangat luas. Tetapi, Pemerintah DKI Jakarta sudah menyatakan kesediaannya jika PLN tidak bersedia. Mereka yang akan memindahkan menara itu," kata Pitoyo. Pembangunan BKT sendiri, menurut Pitoyo, mudah karena tidak memerlukan teknologi yang canggih. "Pekerjaannya hanya mengeruk, lalu membuat turap untuk penguat bantaran. Setelah itu membuat jembatan dan bangunan-bangunan lain yang diperlukan," katanya. Dia berjanji, jika pembebasan tanah cepat selesai, pembangunan BKT yang anggarannya Rp 1,3 triliun ini akan selesai akhir tahun 2009. "Bahkan kalau lancar, sebelum akhir tahun 2009 sudah bisa selesai," tegas Pitoyo. Rekayasa sosial Jika kanal timur selesai dibuat, apakah Jakarta akan bebas dari banjir? Pitoyo memastikan Jakarta tetap akan banjir. Penyebabnya, ulah manusia yang belum bisa menjaga lingkungannya. Pembuangan sampah ke sungai oleh warga masyarakat masih terus terjadi sepanjang hari. Teguh Triyono, Pejabat Pembuat Komitmen Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Balai Ciliwung-Cisadane mengatakan, upaya rekayasa sosial untuk menjaga sungai masih minim dilakukan. Rekayasa sosial ini berupa pendidikan, pemberdayaan, peraturan, dan penerapan peraturan agar sungai tidak dirusak oleh manusia. Minimnya rekayasa sosial ini membuat masih banyak sampah menumpuk di sungai, bantaran kali masih dipakai sebagai tempat tinggal dan pusat aktivitas warga. Contohnya, sampah dalam kondisi normal saja di Pintu Air Manggarai mencapai tujuh truk per hari. Jumlah tersebut melonjak tajam pada musim hujan. "Sebaiknya ada kebijakan yang mengharuskan warga dekat bantaran membangun rumah menghadap ke sungai agar mereka dipaksa merawat halaman depan yang bersih dan terawat," kata Teguh. Di sepanjang bantaran BKB, dalam pantauan tiga bulan terakhir, ribuan bangunan didirikan persis di tepi jalan inspeksi dan bahkan sebagian dibangun di atas lahan BKB. Sesuai aturan, ujar Teguh, lahan lima meter dari bantaran BKB harus bersih dari bangunan dan kegiatan masyarakat. Kondisi sebagian besar BKB kini diapit permukiman kumuh, seperti di Pejompongan hingga kawasan Kalijodoh, Jakarta Utara. Bahkan di sekitar Roxy, bantaran BKB dijadikan tempat pembuangan sampah yang membentang 200 meter. Ahmad, warga di bantaran BKB dekat Tomang mengaku jengkel melihat perilaku warga yang tetap membuang sampah di kali. Untuk mengubah perilaku warga, beberapa orang berinisiatif membuat kebun di bantaran sungai. "Biasanya orang tidak berani membuang sampah di bantaran yang dijadikan kebun," kata Ahmad. Selain pembangunan fisik, rekayasa sosial memegang peranan penting dalam penanggulangan banjir. Sayang, hingga kini rekayasa sosial belum dilakukan. Misalnya saja, seluruh penduduk Jakarta yang belum juga sadar lingkungan dipindahkan ke Belanda, apakah Belanda yang sudah sangat maju sistem tata airnya akan kebanjiran? Atau dibalik, jika penduduk Belanda dipindahkan ke Jakarta, apakah Jakarta akan tetap kebanjiran? M CLARA WRESTI dan IWAN SANTOSA Post Date : 16 Desember 2007 |