|
Pekanbaru, Kompas - Penggundulan hutan dan alih fungsi lahan yang semula berupa hutan primer menjadi areal tanaman monokultur mengakibatkan sumber air bersih di Provinsi Riau terkuras habis. Krisis air bersih parah dan berkepanjangan akan menimpa wilayah ini dalam 10-15 tahun ke depan. Awal masa krisis ini telah dimulai beberapa tahun terakhir, ditunjukkan dengan tidak terpenuhinya lagi kebutuhan air bersih di wilayah pesisir Riau. Berdasarkan data terakhir hingga pertengahan Maret 2005 dari Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau, seluruh masyarakat Riau menggantungkan pemenuhan kebutuhan air bersih dari persediaan air tanah. Namun, perluasan perkebunan kelapa sawit selama 20 tahun terakhir berdampak negatif terhadap keseimbangan persediaan air tanah. "Total luas lahan perkebunan saat ini mencapai 1,8 juta hektar atau meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1980-an. Sedikitnya 235 juta pohon kelapa sawit setiap hari menyerap 2,8 miliar liter air tanah. Berkurangnya air tanah ini diperparah oleh kerusakan lingkungan sungai-sungai di Riau yang menyebabkan airnya tak lagi layak dikonsumsi," kata Direktur Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau Ariful Amri. Dia mengungkapkan, 95 persen dari 4,3 juta areal hutan alam di Riau telah rusak. Sebagian besar disebabkan oleh penggundulan hutan baik legal maupun tidak. Sementara pemanfaatan untuk perkebunan terus dilakukan, rehabilitasi masih sedikit. Saat ini di empat daerah aliran sungai (DAS) utama di Riau kondisinya sudah memprihatinkan. Dua minggu hujan, pasti banjir. Dua minggu terik, kekeringan muncul. Berdasarkan data dari Rona Lingkungan Unri, di empat DAS Kampar, Indragiri, Rokan, dan Siak secara normal dulu terjadi siklus banjir besar lima tahun sekali. Namun, sejak tahun 2000 hingga 2004, banjir terjadi setiap tahun. Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang pesat sama sekali tidak menolong. Bahkan tanaman ini termasuk rakus air dengan kemampuan menyerap 12 liter per batang per hari. Padahal, ketersediaan air tanah menjadi solusi bagi masyarakat Riau sebagai sumber pemenuhan air bersih. Sepuluh tahun terakhir air sungai yang menjadi sumber air telah tercemar dengan berdirinya ratusan industri di sepanjang tepi sungai. Kucuran jutaan meter kubik limbah menyebabkan air sungai tak layak dikonsumsi. Kekurangan air bersih Berkurangnya areal hutan hingga 60 persen lebih juga mengakibatkan perubahan cuaca menjadi tidak menentu. Jika lima tahun lalu masyarakat masih dapat mengharapkan air bersih dari hujan selama lima-enam bulan pada musim penghujan, kini hal ini tidak dapat diharapkan lagi. Kemarau dirasakan lebih panjang dibanding musim hujan. Krisis air bersih akibat tidak menentunya cuaca, antara lain terjadi di Kecamatan Rangsang Barat, Kota Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, yang telah menginjak bulan ketiga. Lebih dari 4.000 warga di sedikitnya tiga desa kekurangan air bersih karena hujan baru turun dua kali sepanjang Januari hingga Maret.(nel) Post Date : 23 Maret 2005 |