Protokol Kyoto Dukung Pengelolaan Sampah

Sumber:Kompas - 24 Maret 2005
Kategori:Sampah Jakarta
PROTOKOL Kyoto, sebuah kesepakatan internasional yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2 persen pada tahun 2008-2012 di bawah tingkat emisi gas rumah kaca rata-rata tahun 1990, akhirnya efektif berlaku sejak hari Rabu (16/2), tepat sembilan puluh hari setelah Rusia meratifikasinya.

DENGAN demikian, mekanisme pembangunan bersih yang digulirkan oleh protokol tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang dapat berakibat turunnya sanksi bagi negara industri yang mangkir dari kesepakatan. Negara-negara industri, kecuali Amerika Serikat dan Australia yang menolak meratifikasinya, sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang dominan berkewajiban untuk menepati janjinya dalam menurunkan emisi karbon yang telah disepakati.

Hingga saat ini sudah ada 141 negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk 30 negara industri. Sayangnya, Amerika Serikat dan Australia secara kontroversial menolak meratifikasinya dengan alasan mereka sudah memiliki agenda sendiri dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dan khawatir kehidupan industrinya terganggu. Padahal Amerika Serikat, misalnya, diperkirakan menyumbangkan emisi gas rumah kaca lebih dari 25 persen emisi dunia.

Bagi negara yang sedang berkembang yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, seperti Indonesia, kewajiban untuk mengurangi emisi karbon tidak ada, tetapi diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Perlu diketahui bahwa tanggal 28 Juli 2004 Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto sehingga saat itu Indonesia menjadi negara ke-124 yang meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan meratifikasinya, Indonesia bersama dengan negara-negara sedang berkembang lainnya harus mempersiapkan diri menyongsong ajakan stakeholder asing untuk bertransaksi dalam proyek pengurangan emisi atau perdagangan karbon di dua sektor utama, yakni sektor energi dan kehutanan. Contoh-contoh kegiatan perdagangan karbon antara lain penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, reforestasi, dan pengelolaan sampah. Transaksi proyek mekanisme pembangunan bersih dari negara industri mencapai sekitar 323 juta dollar AS.

Peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dan ikut dalam perdagangan karbon terbuka lebar mengingat beragamnya proyek dan kesesuaiannya dengan kondisi negara kita. Dalam hubungannya dengan pengembangan pengelolaan sampah, misalnya, mekanisme pembangunan bersih memberikan porsi sekitar 16 persen sebagai imbalan reduksi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh pembusukan sampah di tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

TPA adalah ujung akhir dari pengelolaan sampah. Secara alamiah, dengan sistem TPA yang saat ini eksis di seluruh kota di Indonesia, yaitu sistem open dumping, sampah organik yang tertimbun di TPA akan mengalami proses dekomposisi secara anaerobik sehingga menghasilkan gas CH4 (metana), salah satu gas rumah kaca yang kekuatannya 23 kali gas CO2. Produksi gas metana di TPA saat ini lepas ke atmosfer Bumi secara bebas tidak terkendali.

Untuk mereduksi emisi metana dari TPA ke atmosfer Bumi dapat digunakan tiga strategi. Pertama, memanen metana di TPA sebagai bahan bakar. Kedua, mengonversikan material sampah organik sebagai bahan bakar. Ketiga, mengonversikan sampah menjadi kompos.

Strategi pertama dan kedua merupakan strategi mengubah sampah menjadi energi (waste to energy). Oleh karena energi yang diproduksinya berasal dari bahan bakar berupa sampah yang notabene kita produksi setiap hari, maka waste to energy menjadi salah satu jenis dari energi terbarukan (renewable energy).

Pada intinya strategi pertama adalah mengendalikan emisi metana di TPA agar tidak lepas ke atmosfer begitu saja. Itu dilakukan dengan cara mengoleksinya dan kemudian memanfaatkan gas tersebut menjadi bahan bakar genset listrik secara langsung atau sebagai bahan bakar boiler yang energi panasnya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk pembangkit generator listrik tenaga uap dan air panas untuk mencuci truk sampah.

Sementara itu, pada strategi kedua, emisi metana di TPA sengaja dihindari dengan cara menghentikan pembuangan sampah ke TPA, tetapi dialihkan ke fasilitas khusus yang dapat mengubah sampah menjadi energi. Proses pengubahannya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mengonversikan sampah organik menjadi metana secara terkendali di dalam instalasi reaktor anaerobik, dan membakar sampah (tidak hanya sampah organik) secara terkendali di dalam insinerator yang sekaligus sebagai sumber pembangkit listrik.

Pemanenan gas di TPA sudah diterapkan di beberapa negara di Eropa, seperti Inggris dan Jerman. Di Indonesia, studi pemanenan gas metana di TPA saat ini sedang gencar dilakukan di beberapa wilayah, seperti Bali dan Cirebon. Di TPA Pasir Impun (Bandung), Dinas Kebersihan Kota Bandung bahkan pernah mendirikan pilot plant pemanenan metana bekerja sama dengan Australia.

Dalam strategi kedua pemanfaatan sampah menjadi sumber energi, proses konversi sampah organik menjadi metana dengan instalasi reaktor anaerobik juga sudah populer dilakukan di dunia. Di Indonesia proses tersebut sebenarnya sudah cukup beken juga (dikenal sebagai produksi biogas), tetapi prosesnya bukan dirancang khusus untuk menangani sampah kota, melainkan untuk menangani limbah cair permukiman, peternakan, dan agroindustri. Beberapa instalasi biogas skala kecil tersebar di berbagai pelosok di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan instalasi biogas sebagai penggerak listrik yang terbesar di Indonesia terletak di RPH Cakung, Jakarta Timur, dengan produksi listrik sekitar 20-35 kV, yang dirancang oleh Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT.

Sementara itu, proses konversi sampah menjadi energi listrik dengan cara dibakar di insinerator belum pernah ada di Indonesia. Namun, sebenarnya studi tentang hal itu sudah dilakukan BPPT tahun 1980-an dalam rangka rencana perbaikan pengelolaan sampah DKI Jakarta pada saat itu. Sayangnya, studi tersebut mandek di tengah jalan karena tidak ada dukungan politis. Saat itu telah dilakukan studi karakter sampah DKI dan perancangan insinerator kapasitas 1.000 ton sampah per hari sebagai pembangkit listrik.

Contoh negara yang paling banyak memanfaatkan insinerator sampah sebagai pembangkit listrik adalah Jepang dan Singapura. Sebanyak 70-90 persen sampahnya dimusnahkan dengan cara itu. Bagi kedua negara tersebut, pemakaian insinerator sangat efektif karena mereka memiliki keterbatasan lahan sehingga sangat sulit mendapatkan lokasi TPA. Dengan dibakar, material sampah dikonversikan menjadi abu yang volumenya tinggal 10-15 persen dari volume sampah awal sehingga pemakaian TPA menjadi efisien dan panjang umurnya.

Di antara ketiga strategi pengelolaan sampah dalam rangka mekanisme pembangunan bersih, kegiatan konversi sampah menjadi kompos di Indonesia sudah lebih maju beberapa langkah. Pengomposan sampah didefinisikan sebagai proses dekomposisi sampah organik oleh mikroorganisme dalam kondisi aerobik terkendali menjadi produk kompos. Proses pengomposan sampah secara aerobik merupakan strategi mencegah sampah organik terdekomposisi secara anaerobik. Pembusukan satu ton sampah organik di TPA secara teoretis dapat menghasilkan gas metana sebanyak 0,20-0,27 m3. Dalam proses pengomposan, secara signifikan tidak terproduksi metana, tetapi sampah organik diubah menjadi produk kompos, air, dan CO2.

Selain mencegah produksi gas metana, kegiatan pengomposan sampah kota memiliki manfaat sebagai berikut. Pertama, pengomposan dapat mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA sehingga transportasi sampah dapat lebih efisien dan memperpanjang umur TPA. Kedua, pengomposan merupakan metode daur ulang yang alamiah dan mengembalikan bahan organik ke dalam siklus biologisnya sehingga tanah terjaga kesuburannya. Ketiga, pengomposan mengubah sampah yang tadinya berbahaya menjadi produk pupuk organik yang aman bagi lingkungan.

Saat ini di beberapa kota di bagian barat wilayah Pulau Jawa, seperti Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Sumedang, Purwakarta, dan Subang, telah berdiri sedikitnya 21 produsen kompos berbahan baku sampah kota dengan kapasitas yang bervariasi. Dari seluruh produsen kompos, sebelas di antaranya memiliki kapasitas produksi sampai 2 ton, enam produsen dengan kapasitas 2-5 ton, dan empat produsen lainnya memiliki kapasitas di atas 5 ton kompos per hari. Dari seluruh produsen kompos, sampai dengan bulan Desember tahun lalu telah diproduksi kompos sebanyak 17.637 ton yang berasal dari 141.096 m3 sampah organik. Sedangkan untuk tahun ini diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi dengan berdirinya produsen-produsen kompos yang baru.

Saat ini tiap-tiap produsen kompos sedang meningkatkan produksi komposnya agar tercapai target produksi total 200 ton kompos per hari Meski demikian, untuk mencapai target tersebut tidak mudah karena menghadapi berbagai kendala di lapangan, seperti masalah tidak kontinunya pasokan bahan baku, tidak optimalnya proses pengomposan, dan minimnya sarana dan prasarana pengomposan, serta sulitnya membuka pasar kompos.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), sebagai institusi yang saat ini membina para produsen kompos berbahan baku sampah kota, bersama-sama dengan BPPT, PU, Departemen Pertanian, Dinas Pertamanan, dan Dinas Kebersihan, secara intensif sedang melakukan beberapa terobosan, antara lain dengan mengeksplorasi dan merekrut produsen-produsen kompos baru, advokasi untuk kelancaran bahan baku kompos terhadap institusi kebersihan di tiap-tiap kota, advokasi kebijakan pemasaran dan penggunaan kompos kepada instansi terkait, dan melakukan pembinaan teknis dan manajemen secara terpadu terutama kepada produsen kompos skala besar.

Menyimak uraian di atas, kegiatan pengelolaan sampah kota sesungguhnya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam percaturan global di bidang lingkungan hidup melalui program mekanisme pembangunan bersih. Peluang ini hendaknya dapat direspons oleh institusi kebersihan di setiap pemerintah kota atau pemerintah kabupaten di Indonesia demi keberlanjutan manajemen persampahan yang saat ini karut-marut dengan munculnya berbagai petaka sampah, seperti sampah longsor yang baru terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung.

Ir Sri Wahyono MSc Bekerja di P3TL BPPT, Anggota Tim Teknis Program Subsidi Kompos KLH

Post Date : 24 Maret 2005