|
Dua fenomena besar yang sangat meresahkan petani dan masyarakat kelas menengah bawah adalah (1) penguasaan absolut atas sumber mata air (spring water resources) oleh sektor tertentu yang tidak terkendali, serta (2) belum tersedianya pola, sistem, dan mekanisme dalam: penetapan water sharing, implementasi, pemantauan, dan penyelesaian konfliknya, sehingga masing-masing pemangku kepentingan (stake holder) mendapat perlakuan yang adil. Kedua isu tersebut saat ini terus mengemuka, karena selain air menguasai hajat hidup orang banyak, ia juga menjadi komponen utama penyusun makhluk hidup. Sementara itu, secara kuantitas ketersediaannya yang utilizable terus menurun akibat rusaknya daur hidrologi, pencemaran. Kondisi ini akan mendorong masyarakat masuk dalam perangkap krisis air (water crisis trap) yang secara akumulatif dapat memicu munculnya konflik air horizontal maupun vertikal (vertical and horizontal conflict). Ironisnya, masalah krusial ini belum direspons secara proporsional oleh pengambil kebijakan maupun perencana. Indikatornya, kompetisi air yang tidak sehat dan tidak fair dengan kandungan konflik tinggi (high content of conflict) cenderung diserahkan kepada mekanisme pasar (market mechanism). Dampaknya, sektor pertanian dengan petani dan masyarakat kecil yang secara alamiah sudah sangat lemah akan semakin terpuruk dan termarjinalkan. Sejarah telah membuktikan, meskipun temperatur air rendah, namun apabila terjadi konflik air, secara langsung dapat menaikkan temperatur fisik dan psikis orang secara exceptional. Berikut disajikan teladan penguasaan dominan beberapa sumber mata air untuk keperluan air minum dan industri yang sudah mengganggu keberlangsungan masa depan petani. Penguasaan Dominan Kekhawatiran lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan terjadinya privatisasi air yang menjurus pada penguasaan dominan bahkan absolut-melalui penyerobotan air pertanian dari mata air untuk keperluan industri secara sewenang-wenang-dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air, tampaknya menjadi kenyataan. Berbekal UU Sumber Daya Air yang baru disahkan, investor datang ke beberapa bupati di Jawa yang memiliki sumber mata air potensial untuk meminta hak guna air agar dapat mengeksploitasi mata air tanpa memperhitungkan nasib sektor pertaniannya. Pilihan "jalan pintas" yang ditempuh adalah bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin pada periode jabatannya. Teladannya, di mata air Desa Pager Rejo, Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Garang Hulu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, telah terjadi pengambilan air yang berlebihan untuk keperluan industri dan air minum mulai tahun 1997 sampai sekarang. Hal itu berdampak terhadap penurunan intensitas tanam dan luas areal tanam serta produktivitas pertanian. Informasi ini dapat dengan jelas divalidasi dengan menggunakan citra dengan resolusi spatial dan temporal yang memadai seperti spot image multitemporal. Kasus serupa terjadi di DAS yang sama, yaitu di mata air Desa Nyatnyono, akibat pengambilan air yang berlebihan oleh produsen air kemasan. Fenomena yang identik juga terjadi di DAS Kali Kuning, Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta, dan mata air Cokrotulung, Klaten, Jawa Tengah, yang mulai mengeksploitasi sumber mata air mulai tahun 2002 dan direncanakan beroperasi penuh tahun 2004. Padahal, wilayah yang saat ini mata airnya dikuasai (occupied) sektor industri dan air minum secara tradisional merupakan sentra produksi pangan, hortikultura, ternak, dan perikanan yang sangat menjanjikan. Pendeknya, dengan disahkannya UU Sumber Daya Air, saat ini banyak bergentayangan pengeksploitasi air yang siap mengisap darah rakyat untuk kepentingan konglomerasi tanpa memperhitungkan derita masyarakat. Implikasi kompetisi yang tidak sehat ini menyebabkan petani terpaksa menggunakan air dengan kualitas rendah (polluted) sehingga akan mencemari produk pertanian yang dihasilkan. Dalam skenario yang moderat, petani akan mengganti dan mengurangi jenis komoditas yang dibudidayakan serta harus menerima kegagalan panen karena kekurangan air akibat disedot untuk air minum dan industri tanpa adanya kompensasi. Padahal, diversifikasi komoditas merupakan alat (instrument) untuk mengelola risiko (risk management) sekaligus meningkatkan pendapatan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Menyedihkan lagi dari sisi yang lain, harga komoditas pertanian yang dihasilkan dengan susah payah harganya anjlok akibat banyaknya penyelundupan oleh pengkhianat bangsa yang didukung oleh oknum petugas. Terbongkarnya kasus penyelundupan gula di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, oleh Arum Sabil-salah seorang Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Jember, Jawa Timur-menunjukkan bahwa ada oknum petugas yang tidak punya nurani untuk membela rakyat. Inilah potret bopeng oknum aparat kita yang makan dan hidup dari rakyat, tetapi tidak punya nurani dan justru menghancurkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memecahkan persoalan tingginya penyerobotan air oleh sektor air minum dan industri? Proportional water sharing adalah solusinya. "Proportional Water Sharing" Keterbatasan pasokan (supply side) di satu pihak dan peningkatan kebutuhan (demand side) di bagian lain menuntut alokasi air antarsektor adil. Proportional water sharing merupakan pendekatan baru yang memosisikan setiap agen pengguna air secara proporsional dalam hal kontribusi manfaat. Alokasi air untuk sektor pertanian, air minum, dan lingkungan dari mata air Sungai Kuning, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, berdasarkan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) menerapkan elemen proportional water sharing merupakan teladan yang baik. Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, dan lingkungan, serta potensi lestari pemanfaatan mata air, maka ditetapkan bahwa sektor pertanian mendapat alokasi 50 persen debit dari mata air, 35 persen untuk air minum dan industri, sedangkan sisanya, 15 persen, untuk keperluan lingkungan. Tiap daerah dan mata air akan berbeda proporsinya, tergantung seberapa prioritas masing-masing sektor di wilayah tersebut. Sayangnya, berdasarkan pemantauan di lapangan dan diskusi dengan masyarakat dan LSM setempat, kesepakatan tersebut tidak dapat diimplementasikan secara adil. Indikatornya, luas areal tanam, jenis komoditas yang diusahakan, produktivitas, dan indeks pertanaman di daerah irigasi Sungai Kuning terus berkurang akibat pasokan air yang semakin rendah. Akibatnya, petani terus terjepit sehingga sempat memprotes dengan merusak bangunan pembagi. Ketidakadilan struktural dan fungsional yang terus terjadi ini sangat sedikit memperoleh advokasi, bahkan mekanisme dan penyelesaian konflik antarsektor terkait tidak pernah dilakukan. Berdasarkan pengalaman konflik tersebut, penerapan proportional water sharing harus dilengkapi dengan mekanisme pemantauan dan penyelesaian konflik yang disepakati. Kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara Eropa, seperti Perancis, dalam implementasi proportional water sharing untuk berbagai sektor yang dilengkapi dewan pengawas dan dewan pelaksana alokasi air. Komposisinya terdiri atas elemen masyarakat yang merupakan wakil- wakil dari petani, pengusaha, birokrat, parlemen, cendekiawan (perguruan tinggi, lembaga penelitian), dan LSM. Komposisi tersebut memungkinkan terjadinya pengawasan berlapis (stratified monitoring), baik dalam implementasi maupun tanggung jawab dalam pendayagunaan sumber daya air. Transparansi ini lebih jauh memungkinkan akses, kontrol, dan partisipasi masyarakat dalam pendayagunaan sumber daya air dapat dioptimalkan. Pemerintah Indonesia perlu segera tanggap dan melakukan antisipasi dini dengan menyiapkan perangkat yang memadai, baik berupa perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware), dalam mitigasi dan adaptasi konflik akibat penguasaan absolut sumber mata air dan tidak beroperasionalnya proportional water sharing. Tanpa persiapan yang memadai, sengketa air dapat memicu kerawanan sosial politik nasional yang luar biasa. Argumennya, masyarakat kecil yang terus tertekan dan tertindas akibat rendahnya keberpihakan pemerintah akan memberikan reaksi yang ekstrem apabila terus termarjinalkan. Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Anggota Dewan Pendiri Yayasan Amarta Post Date : 22 Juli 2004 |