MENGOLAH sampah, apalagi sampah campuran menjadi energi listrik memang tidak semudah yang direncanakan dulu. Bisa dibilang, semua perhitungan yang semula dilakukan bisa saja sangat meleset. Buktinya, sampai hampir setahun uji coba, gas metan yang dihasilkan tidak juga stabil.
Hal itulah yang menjadi kendala utama sehingga produksi listrik tidak bisa memenuhi target. Meskipun, selalu dinyatakan jika air licit yang masuk ke sumur gas metan terus berkurang, hingga saat ini uji coba yang dilakukan belum menghasilkan gas metan secara stabil.
Tanpa berusaha menutupi kekurangannya, Vice President Director PT Navigat Organic Energy Indonesia, Budiman Simadjaya mengatakan, sejak awal lahan di TPST Bantargebang memang tidak disiapkan sejak awal untuk bisnis pengolahan gas metan sampah menjadi listrik.
Akibatnya, ketika projek itu diluncurkan pada sekitar tahun 2008, maka pihaknya harus melakukan desain ulang untuk hampir seluruh area tempat pembuangan sampah yang ada di TPST tersebut.
Secara terang-terangan, Budiman mengakui jika desain ulang lahan itu membutuhkan banyak biaya serta kesabaran. "Memang pekerjaan yang sulit, karena lahan yang ada tidak ideal untuk pengolahan gas metan," katanya.
Salah satu kesalahan fatal yang menjadi kendala pengolahan gas metan itu adalah belum ditutupnya lahan pembuangan sampah dengan geomembran pada awal pembukaan lahan TPST. Akibatnya, gas metan tidak tersimpan dengan baik di sekitar 180 sumur yang disediakan.
Gas yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah itu kebanyakan masih "lari" ke mana-mana. Bahkan bercampur dengan air licit. Kondisi itu akan sangat parah ketika curah hujan tinggi. Sebab, bisa dipastikan gas metan yang didapatkan akan sangat minim dan kualitasnya tidak baik untuk menggerakkan generator.
Budiman juga menyebutkan belum terpilahnya sampah dengan baik juga membuat produksi gas metan tidak stabil. "Sampah yang kita olah masih campuran antara organik dengan nonorganik. Yang organik juga masih belum merata kualitasnya," kata pria yang sempat tinggal di Kota Bandung ini.
Padahal, dengan sampah organik murni yang mengandung banyak selulosa, hanya dibutuhkan sekitar 300 ton sampai 400 ton sampah untuk menghasilkan 1 mw listrik. Namun, karena kondisi sampah yang ada belum terpilah dengan baik, maka dari sekitar 4.000 ton hingga 6.000 ton sampah yang masuk pun baru bisa diperoleh 2 mw listrik.
Selain itu, sampah yang bisa diolah gas metannya pun hanya sampah baru yang masuk mulai tahun 2009 lalu. Sementara itu, lima bukit sampah yang telah berdiri sebelumnya tidak bisa diolah gas metannya, karena bercampur dengan air licit.
Menurut dia, memang sudah seharusnya mesin pemilah sampah dioperasikan. Mesin yang rencananya terpasang tahun 2010 itu, molor diinstal hingga tahun 2011 nanti dengan berbagai pertimbangan.
Miskomunikasi antara pengelola TPST dengan para pemilik lapak pemulung di sekitar wilayah itu, sempat membuat ratusan pemilik lapak serta pemulung yang tergabung dalam Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) melakukan aksi protes.
Biaya mahal
Meskipun demikian, salah satu sumber "PR" mengatakan hal itu bukanlah alasan utama mengapa hingga akhir tahun 2010 mesin pemilah sampah belum dioperasikan. Menurut dia, biaya operasional mesin itu relatif mahal, sehingga penggunaannya masih dipertimbangkan. Sebab mesin yang sama juga pernah dioperasikan di tempat lain, tetapi kemudian dihentikan karena biaya operasionalnya yang tinggi.
Dengan kondisi gas metan yang belum stabil, sumber tersebut mengatakan, tidak mungkin dua perusahaan besar itu mau mengambil risiko besar. Terlebih, nilai investasi mereka cukup besar. Hal itu pula, yang menyebabkan pengelola TPST terkesan hati-hati dalam meluncurkan projek tersebut.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt. Sekda) Kota Bekasi, Dudy Setiabudhi mengaku masih banyak hal yang perlu direvisi dalam kontrak perjanjian pengelolaan TPST Bantargebang antara Pemprov DKI Jakarta, pihak ketiga, dan Pemkot Bekasi.
Dikatakan Dudy, meskipun memberikan kontribusi relatif besar dalam pendapatan asli daerah (PAD), Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik lahan belum melibatkan Pemkot Bekasi dalam beberapa hal terkait pengelolaan TPST itu.
Dari bisnis pengolahan sampah di TPST Bantargebang, Kota Bekasi mendapatkan 20 persen dari nilai tipping fee melalui Community Development. Nilai tipping fee yang diberikan Pemprov DKI Jakarta adalah Rp 105.840 per ton per tahun.
Dengan jumlah sampah masuk rata-rata 5.000 ton sampah per hari, maka tipping fee yang diperoleh Pemkot Bekasi sekitar Rp 38.631.600.000 per tahun, belum dipotong pajak. Dana inilah yang digunakan untuk perbaikan infrastruktur, pembiayaan pendidikan gratis, pembiayaan kesehatan gratis, serta sejumlah projek lainnya. (Kismi D.A./"PR")
Post Date : 15 Desember 2010
|