Jakarta, Kompas - Produksi karbon dari kegiatan industri, transportasi, dan pembangkit tenaga listrik masih tanpa kendali. Karbon yang diproduksi dibuang begitu saja, padahal berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti diinjeksikan kembali ke perut Bumi untuk mengeluarkan minyak dan gas bumi.
”Indonesia belum memiliki sistem untuk mewajibkan pengendalian karbon itu,” kata Kepala Komite Nasional Indonesia World Energy Council Hardiv Situmeang dalam konferensi pers yang diprakarsai Kedutaan Besar Inggris, Rabu (23/12) di Jakarta.
Hadir narasumber-narasumber lainnya, yaitu peneliti pada Divisi Eksploitasi Lemigas, Utomo Pratama Iskandar, dan analis strategi karbon dioksida dari kantor pusat perusahaan Shell di Belanda, Michael Putra.
Menurut Hardiv, proyek pemerintah saat ini, seperti rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 megawatt (MW) tahap pertama dan kedua oleh PLN, belum memungkinkan dilengkapi dengan pengendalian karbon atau emisinya.
”Saat ini merupakan momentum paling tepat bagi Indonesia memulai pembangunan pembangkit listrik dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage (CCS),” kata Michael.
Alasannya, menurut Michael, Indonesia saat ini masih membutuhkan banyak listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar minyak dari fosil. Komposisi produksi listrik pada tahun 2008 adalah yang menggunakan batu bara mencapai 29,6 persen, bahan bakar diesel 47,9 persen, gas 18,7 persen, dan lain-lain.
Utomo menyatakan, peluang menerapkan CCS di Indonesia memungkinkan, di antaranya dengan dikombinasikan untuk kegiatan eksploitasi minyak dan gas. Banyaknya sumur eksploitasi minyak yang sudah tua dan belum mencapai titik optimal memberikan peluang penerapan CCS ini dengan cara menginjeksikan karbon ke dalam perut Bumi yang menjadi reservoir minyak dan gas.
”Rekomendasi sumber karbon untuk diinjeksikan ke reservoir minyak dan gas bumi sudah dibuat,” kata Utomo.
Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain, sumber karbon dari kegiatan pembangkit listrik 1.000 MW di Indramayu, Jawa Barat, agar diinjeksikan di wilayah Sumatera Selatan dengan perkiraan kebutuhan perpipaan saluran mencapai 655 kilometer. Kemudian untuk pembangkit listrik 750 MW Muara Tawar, Jawa Barat, agar diinjeksikan ke Laut Jawa dengan kebutuhan perpipaan 15 kilometer.
Menurut Hardiv, karbon itu sangat diperlukan. Sebagian besar karbon diproduksi dari kegiatan pembangkitan listrik sehingga PLN perlu merancang kebutuhan pengendalian karbon untuk masa-masa mendatang.
”Untuk mendorong secara finansial, bisa melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Protokol Kyoto, tetapi juga bisa melalui mekanisme perdagangan karbon lainnya,” kata Hardiv.
Terkait dengan Kesepakatan Kopenhagen, menurut Michael, hal yang tidak terjadi adalah tidak adanya kesepakatan untuk memperbesar pengurangan karbon dari negara-negara maju. Namun, dukungan finansial untuk perdagangan karbon dari negara maju masih cukup besar dan Indonesia belum bisa memanfaatkan secara optimal.
”Seperti untuk program perdagangan karbon melalui CDM Protokol Kyoto, India dan China yang menguasai. Mengapa Indonesia tidak bisa masuk satu pun?” kata Michael. (NAW)
Post Date : 24 Desember 2009
|