Privatisasi Sektor Air

Sumber:Media Indonesia - 16 Agustus 2005
Kategori:Air Minum
JAKARTA (Media): Direktur Perumahan dan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Basah Hernowo menegaskan privatisasi di sektor air yang diberlakukan pemerintah bukanlah cara terbaik untuk memperbaiki sistem penyediaan air di Indonesia.

"Untuk memperbaiki sistem penyediaan air minum, sebenarnya tidak dengan privatisasi. Tapi dengan melibatkan masyarakat (public participation) sehingga masyarakat merasa bertanggung jawab dan merasa memiliki sistem penyediaan air itu. Pemerintah tidak ikut campur dalam pengambilan keputusan kecuali memfasilitasi saja," kata Basah pada seminar Strategi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum di Gothe Haus, Jakarta, kemarin.

Dalam Pasal 64 Peraturan Pemerintah (PP) No 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) disebutkan keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan air minum dapat mencakup seluruh atau sebagian tahapan penyelenggaraan pengembangan.

Dalam pasal tersebut tidak ditetapkan batasan partisipasi swasta dalam penyediaan air minum secara rinci. Menurut Basah, pasal itu mengindikasikan bahwa pemerintah membuka ruang sebesar-besarnya bagi keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum sehingga hal tersebut dapat merugikan pihak penyedia air bersih lokal di Indonesia dalam hal ini, perusahaan daerah air minum (PDAM).

"Perlunya dibuat undang-undang yang mengatur agar tiap-tiap pemerintahan daerah atau lokal memiliki perusahaan air sendiri," ujarnya.

Dengan memerhatikan kondisi PDAM yang kini dianggap belum memiliki manajemen cukup baik untuk melayani masyarakat, Basah menilai bahwa PDAM akan kalah bersaing dengan pihak swasta yang notabene mendapatkan dukungan penuh dari berbagai lembaga keuangan internasional.

Utang PDAM

Berdasarkan hasil data dari Perhimpunan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) pada akhir tahun 2001, sebanyak 293 PDAM di Indonesia hanya 29 yang berada dalam kondisi sehat. Sisanya dalam keadaan menanggung utang sebesar Rp4 triliun kepada pemerintah.

Jumlah itu semakin melonjak pada 2004, utang seluruh PDAM mencapai Rp5,3 triliun.

"Seharusnya pengelolaan air oleh PDAM itu dilakukan secara regionalisasi. Artinya, pihak PDAM kabupaten atau kota dalam satu kawasan menyatukan pengelolaan airnya, sehingga bisa diperoleh minimum manajemen dan optimum dalam segi pelayanan," cetus Basah.

Sependapat dengan Basah, Wijanto Hadipuro, peneliti dari Universitas Katolik Soegjapranata dan Amarta Institute, melihat privatisasi penyediaan air minum bukanlah jalan terbaik untuk mengatasi permasalahan penyediaan air minum.

"Sering kali privatisasi dianggap sebagai obat yang dapat menyembuhkan semua permasalahan penyediaan air bersih di Indonesia," ujar Wijanto.

Menurut dia, ada keuntungan bila air bersih dikelola oleh pihak publik atau pemerintah. "Kita dapat melakukan pressure jika adanya kenaikan tarif air, tapi jika PDAM dimiliki oleh pihak swasta, maka bisa terjadi protes untuk menurunkan tarif yang imbasnya akan ke mana-mana atau bisa jadi investor tidak lagi mau berinvestasi."

Wijanto memberi saran untuk mengatasi permasalahan air di Indonesia, sebelum mendapatkan solusi yang tepat, harus dilakukan proses diagnosis permasalahan sehingga sumber permasalahan yang dialami PDAM dapat dirincikan dengan jelas.

Salah satu solusi yang disarankan Wijanto adalah dengan partisipasi publik, yakni peran serta masyarakat dalam proses perbaikan dan mengawasi sistem manajemen pengelolaan air bersih di PDAM setempat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan adanya intervensi dari pemerintah.

"Partisipasi swasta bukanlah solusi yang terbaik, karena dengan hadirnya pihak swasta, belum tentu mampu memecahkan permasalahan PDAM secara efektif, terutama permasalahan air bersih di Indonesia yang sudah kronis," ujar Wijanto. (CR-53/H-5)

Post Date : 16 Agustus 2005