|
Bagaikan jatuh tertimpa tangga, itulah nasib PAM Jaya. Bagaimana tidak, sejak 1998 masuknya investor asing dalam pengelolaan air selalu menjadi kontroversi. Keberadaanya tidak menjadikan PAM Jaya lebih baik, malangnya malah mendulang kritikan. Adanya investor asing tidak berarti meninggikan standar air bersih, bahkan mutu pelayanan belum maksimal. Kedua investor asing ini masih terseok-seok dalam melayani pelanggannya. Dahulu, investor asing, yakni PT Thames PAM Jaya (TPJ) dan PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) bagaikan dewa penolong. Kala itu PAM Jaya terbelit utang yang tidak kunjung terbayarkan. Maka TPJ berinvestasi sebesar Rp 360 miliar, sedangkan PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) berinvestasi sebesar Rp 600 miliar. Kini, dalam memberikan pelayanan pengairan, kedua investor itu telah lima kali menaikkan tarif. Ironi memang dalam membantu rakyat miskin untuk pelayanan air bersih adalah menaikkan tarif. Sebagai kompensasi kenaikan tarif, kedua investor asing ini lantas mengumbar-umbar janji manis. Mereka berjanji akan meningkatkan pelayanan. Peningkatan layanan yang dijanjikan adalah menurunkan tingkat pencurian air, meningkatkan kualitas air, memperluas jaringan air bersih, dan mengganti infrastruktur yang sudah tua dan rusak. Nyatanya, untuk peningkatan pelayanan kedua investor ini tidak mampu membe-rikan secara maksimal. Buktinya, dari data di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), masalah air PAM mendapatkan aduan terbesar nomor tiga di tahun 2004. Meski sudah diterpa kritik dan dihujani aduan-aduan, PAM sepertinya tidak memberikan respon yang baik. Buktinya, kasus-kasus air yang tidak mengalir bukan terjadi di satu atau dua rumah, tetapi banyak. Bukan hanya mulai dari awal mereka berinvestasi namun masih saja hingga kini. Contoh kasus dari TPJ yang mengelola perairan di Kampung Bahari V, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ada lebih dari 56 Kepala keluarga (KK) yang PAM-nya mati sudah sembilan bulan. Empat diantaranya telah mati total sejak dua tahun. Anehnya lagi mereka tetap diharuskan membayar abonemen setiap bulan dan tetap dikontrol oleh petugas. Mereka telah melaporkan hal ini dari mulai menelepon setiap bulan sampai mendatangi kantor PAM. Hasilnya mereka merasa bosan karena tidak kunjung ditanggapi, mereka merasa tidak didengarkan dan tidak tahu harus kemana. Mereka bukanlah pengguna air curian, karena masing-masing keluarga memiliki nomor pelanggan (nomen) sendiri-sendiri. Pihak TPJ sendiri mengakui belum mengetahui hal itu. "Hal seperti itu harus dicek kembali," kata Ramses Simanjuntak, Humas Thames PAM Jaya. Menurutnya bila terjadi keluhan cukup ke call center atau mendatangi PAM rayon. Ia sendiri kaget ada pelanggan yang sampai satu tahun hanya membayar abonemen. Sedangkan Humas Palyja, Maria Sidabutar mengatakan bahwa kenyataan di lapangan ternyata tidak mudah. Menurutnya, untuk membenahi saluran pipa yang berada di bawah tanah dilakukan dengan prosedur. Di mana harus koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum, baru ada izin penggalian dan harus mensosialisasikan pada masyarakat. Maria sendiri berterima kasih bila pelanggan mau mengadukan keluhan-keluhannya, apalagi melaporkan mengenai kebocoran-kebocoran air. Karena bila terjadi satu titik kebocoran air itu akan mempengaruhi tekanan air dan berimbas ke mana-mana. Maria mengaku, Palyja mampu menekan kebocoran air dari 60 menjadi 45 persen. Sebagian dari kasus pencurian air ini telah dijerat oleh hukum. Maria mengaku memang ada beberapa titik yang krisis suplai air. Daerah-daerah tersebut berada di daerah barat laut Jakarta, seperti Cengkareng, Daan Mogot. Untuk Daan Mogot, Cengkareng, Kyai Tapa, Cideng sedang dilakukan pemasangan pipa baru. Untuk tahun 2005 ini, Palyja akan memfokuskan pelayanan pada pelanggan yang sudah ada. Pada rencana lima tahun mendatang Palyja, PAM Jaya dan Pemda DKI telah memperoleh kesepakatan untuk rencana investasi sebesar Rp 650 miliar. Maria sendiri memohon dukungan masyarakat untuk memberantas illegal connection yang biasa dilakukan oknum tertentu. Karena menurutnya Palyja tidak pernah menyetujui pemasangan dengan pembayaran di lokasi. "Mungkin saja pada saat itu air keluar, tapi nanti-nantinya nggak akan keluar lagi. Apabila hal ini sampai diketahui pihak Palyja, saluran itu akan diputus" kata Maria. Perjanjian Mengenai berita bahwa Palyja tidak pernah berinvestasi di Indonesia, menurutnya Palyja sudah melakukan apa yang tertuang dalam perjanjian. Investasinya dilakukan dalam perbaikan teknis, produksi, administrasi, rehabilitasi dan perluasan. Kinerja Palyja telah diaudit dan dievaluasi bersama-sama dengan pihak yang terkait. Maria mengatakan, Palyja sampai saat ini sudah berinvestasi hampir Rp 800 miliar. Palyja mendapatkan imbalan dari pengoperasian air dan Palyja sendiri membayarkan utang-utang yang ditinggalkan PAM Jaya secara berkala. Menurutnya, Palyja telah melakukan pembayaran-pembayaran yang telah disepakati. "Selama tujuh tahun, perjanjian kerja sama semua telah dipenuhi. Pengeluaran, investasi, dan pembayaran, semua yang tertuang dalam perjanjian telah dilaksanakan. Kami hanya melakukan apa yang tertuang dalam perjanjian," ujar dia. "Poor Governance" Menurut Asian Development Bank (ADB) baru 39 persen dari warga di perkotaan yang memiliki akses air bersih. Pengoperasiannya pun belum sepenuhnya 24 jam. Artinya, masih banyak masyarakat yang mengandalkan sumber-sumber air yang lain. Warga pedesaan, masih bisa mengandalkan mata air. Namun, warga kota apalagi Jakarta, tidak mungkin lagi mengandalkan sumber-sumber mata air. Banyak warga yang belum dilayani oleh PAM mendapatkan air dari hidran umum, gerobak air, pompa air atau air tanah, bahkan ada juga yang mengandalkan air hujan. Hal ini juga menimbulkan masalah yang tiada henti. Selain air hujan, air tanah di Jakarta pun sudah banyak yang terkontaminasi. Hal ini dapat menyebabkan penyakit-penyakit seperti diare dan gatal-gatal. Pengambilan air tanah lama-kelamaan juga dapat menyebabkan intrusi laut. Intrusi laut adalah air laut yang masuk ke dalam tanah, karena adanya ruang kosong dalam tanah sebagai akibat habisnya air tanah. Jika kita membiarkan krisis air tanah yang diikuti dengan intrusi air laut, daratan Jakarta akan habis digrogoti. Sepertinya, kini tidak ada pilihan lain, air bersih tidak tersedia, daratan Jakarta terus disusupi air laut. Hal paling menakutkan adalah kemungkinan ambruknya gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Ini adalah hasil dari kebijakan-kebijakan pengelolaan air yang salah. Menurut Arthur C McIntosh, staf anggota Asian Development Bank (ADB) dalam bukunya Asian Water Supplies Reaching The Urban Poor, investor asing tidak sukses berinvestasi di Indonesia. Pihak asing ini tidak mampu menunjukkan perbaikan dan efisiensi dalam pengelolaan air. Menurutnya, banyak yang berpikir bahwa swasta adalah jawaban untuk permasalahan korupsi dalam pengelolaan air. Namun ternyata, banyak juga yang memberikan peringatan bahwa perusahaan swasta besar yang mengelola air minum terbukti melakukan korupsi. Kenaikan tarif pun bukan jadi jawaban. Inti permasalahannya adalah pengelolaan air di DKI Jakarta belum akuntabel (poor governance). Seharusnya, pemerintah mengubah manajemen dan menerapkan good governance yang menjadi inti dari semua solusi. Galuh Pangestu Post Date : 28 Februari 2005 |