|
MESKIPUN masih dikhawatirkan berbagai kalangan, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air menurut rencana tetap akan disahkan pada 19 Februari mendatang. Itu berarti, privatisasi dan komersialisasi air hanya tinggal selangkah lagi. KEKHAWATIRAN kalangan akademis dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) maka penguasaan air akan berorientasi pada keuntungan semata. Buntutnya, akses rakyat kecil terhadap air pun terancam putus. Bayangkan bila untuk memperoleh air rakyat harus merogoh kantongnya dalam-dalam, sementara beban hidup semakin besar. Bagi kalangan berduit, boleh jadi ini bukan persoalan besar. Tetapi masalahnya jadi lain bagi kalangan masyarakat miskin, yang sebenarnya punya hak sama untuk menikmati sumber daya alam. Memang tidak ada kata-kata privatisasi-apalagi komersialisasi air-dalam RUU SDA yang berisi seratus pasal itu. Akan tetapi, ada kalimat yang menyebutkan, pemerintah pusat maupun daerah bisa menerbitkan izin pengelolaan air. Suasana menjelang pengesahan RUU SDA memang ditanggapi dingin oleh masyarakat luas. Tak ada respons penolakan yang cukup berarti, meski ada dampak luar biasa di sana. Barangkali ini lebih karena masyarakat tidak memahami bahaya besar yang berpotensi mengancam pengebirian hak-hak dasar mereka atas akses air yang harus dipenuhi negara. Menurut Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), masih ada beberapa hal yang bisa ditempuh untuk mencegah privatisasi dan komersialisasi air. Di antaranya, pengakuan bersama masyarakat tentang suatu wilayah, sebelum dikapling pihak-pihak yang mengantongi izin pengelolaan, khususnya air, dari pemerintah pusat atau daerah. Pengakuan bersama atas suatu wilayah itu selanjutnya dimintakan pengesahannya dalam bentuk peraturan daerah. Tentu saja ini harus melibatkan komitmen pemerintah pusat, daerah, dan DPRD. Persoalannya, seberapa besar energi yang dimiliki masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka tersebut? Cara lain, meminta uji materiil (judicial review) terhadap RUU yang sudah ditetapkan menjadi UU. "Masih terbuka peluang untuk itu," kata Raja Siregar. Ia menegaskan bahwa Walhi menolak materi RUU SDA itu. Secara terkoordinasi, Walhi juga akan menggunakan jaringannya di Indonesia untuk memasyarakatkan kepada kalangan umum bahwa RUU SDA tidak menjamin adanya kesetaraan di tengah masyarakat untuk mengakses air. "Mestinya ada klausul nasional yang tegas mengenai adanya jaminan hak air untuk rakyat," lanjut dia. Secara terpisah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air Nila, Ardhianie, menegaskan bahwa yang paling mungkin dilakukan adalah menyatukan masyarakat pelanggan air dalam semacam forum pelanggan sehingga memiliki daya tawar kuat. Kalau tidak, pelanggan air bisa menjadi bulan-bulanan pengelola perusahaan air yang lebih mengutamakan keuntungan ketimbang layanan sosial yang murah dan terjangkau. Menurut Nila, beberapa perusahaan swasta asing maupun lokal sudah mulai berancang- ancang masuk ke dalam beberapa perusahaan pengelola air minum. Data yang dimiliki koalisi menunjukkan, setidaknya tiga perusahaan air minum sudah dimasuki lembaga swasta asing, masing-masing PAM Jaya Jakarta, yang 95 persen sahamnya dikuasai Thames Water, dari Inggris, dan Suez-Lyonnaise dari Perancis, PDAM Sidoarjo oleh Vivendi dari Perancis, dan PDAM Batam oleh Biwater dari Inggris. Disahkannya RUU SDA, apalagi tanpa ketentuan hukum kuat berlandaskan komitmen bagi rakyat kecil, niscaya akan semakin memosisikan rakyat kecil semakin terpinggirkan. Sebelum RUU SDA disahkan, lanjut Nila, kalangan LSM bersama akademisi dari sembilan perguruan tinggi di Indonesia akan mengeluarkan pernyataan final tentang implikasi pemberlakuan UU tersebut. "Kami akan menyampaikan pernyataan kami kepada fraksi-fraksi, terutama tentang dampaknya yang luar biasa," lanjut Nila. Akan tetapi, tanpa adanya kesatuan visi bersama dari khalayak ramai, privatisasi dan komersialisasi air tinggal selangkah lagi. Dan, semua akan merasakan dampaknya. Post Date : 16 Februari 2004 |