|
Setiap musim hujan datang, banjir pun menghampiri Jakarta, kota yang dilintasi 13 sungai. Berbagai upaya dilakukan untuk menghadapi ancaman banjir, mulai dari membangun kanal-kanal penanggulangan banjir hingga membangun sistem peringatan dini dan memprediksi terjadinya banjir. Upaya-upaya yang dilakukan di kota yang terus berkurang kawasan resapan airnya ini umumnya bersifat responsif, seperti mengeruk dasar sungai dan melebarkannya. Selain itu, instansi terkait juga memasang alat pemantauan tinggi muka air (TMA) di beberapa titik dari hulu hingga hilir di beberapa sungai besar. Langkah ini untuk mengetahui peningkatan debit air yang berpotensi menimbulkan terjadinya banjir. Sistem ini pada awalnya dioperasikan secara manual. Namun, sejak tahun 2003 Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung- Cisadane Departemen Pekerjaan Umum membangun jejaring sistem telemetri pencatat tinggi muka air (automatic water level recording/AWLR) dalam rangka pembangunan sistem peringatan dini bahaya banjir. Sistem otomatis ini terpasang di 21 titik, yaitu di Ciliwung, Cisadane, Sungai Bekasi dan anak sungainya, serta Sungai Pesanggrahan. Dilengkapi dengan alat perekam data atau logger, sistem itu merekam TMA setiap 15 menit. Kemudian data dikirim secara otomatis dengan menggunakan frekuensi radio ke kantor pusat atau pos komando banjir di Cawang, Jakarta Timur. Dalam waktu setengah jam, data di tiap titik itu telah diterima di kantor pusat. Data TMA tersebut kemudian digunakan mengevaluasi banjir, menghitung tren aliran hidrografi, dan kecepatan debit air. Untuk mengembangkan sistem pemantauan itu, Departemen Pekerjaan Umum kemudian bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (kini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika/BMKG) untuk penyediaan data historis curah hujan. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta juga mengembangkan sistem telemetri dengan menggunakan GSM. Namun, jejaring sistem yang dikembangkan berbeda dengan yang dimiliki Departemen Pekerjaan Umum. Selain di Jakarta, Departemen Pekerjaan Umum juga bekerja sama dengan PT INTI di Bandung untuk merekayasa sistem otomatis peringatan dini bahaya banjir. Pengembangan sistem ini melibatkan Universitas Diponegoro, Semarang, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Uji coba alat ini telah dilakukan di Sungai Cimanuk, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Beberapa data yang dipantau meliputi curah hujan, tinggi muka air, suhu, dan kelembaban. Salah satu bagian terpenting dari sistem deteksi ini adalah sensor yang mencatat data curah hujan dan tinggi muka air. Data kemudian dikirim ke server di pusat pengolah data lalu dimasukkan ke sistem kecerdasan buatan pada komputer. Bila hasil analisis komputer menunjukkan banjir masuk kategori membahayakan, informasi itu akan diteruskan ke pihak berwenang dan disebarluaskan ke media massa serta sarana komunikasi publik. Sistem ANFIS Selain Departemen Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, banjir di Jakarta juga menjadi perhatian peneliti dari Institut Teknologi Bandung dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka juga mengembangkan sistem kecerdasan buatan yang disebut ANFIS (adaptive neuro- based fuzzy inference system), yang pertama kali diperkenalkan di Amerika oleh Jyh-Shing Roger Jang dari Departemen Teknik Listrik dan Ilmu Komputer di Universitas California. ”Perhitungan ANFIS untuk prediksi banjir di Sungai Ciliwung menggunakan data aktivitas matahari atau sunspot, historis curah hujan di Jakarta selama 50 tahun lalu, dan TMA dalam 40 tahun terakhir,” kata F Heru Widodo, Koordinator Prediksi Banjir dengan ANFIS di BPPT. Penelitian pada tahap kedua bertujuan untuk mengembangkan sistem pemodelan dinamis, yaitu dengan menambah parameter lain, yaitu suplai air dari hulu sungai dan pasang air laut, serta tingkat penguapan air. Selain itu, diperlukan data historis yang runtut sehingga dapat diketahui lamanya genangan air di suatu tempat. Model dinamis ini diharapkan dapat diterapkan pada tahun 2011, kata Heru yang juga Peneliti Madya di Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT. Heru yang juga salah satu Kepala Program Global Warning di BPPT menjelaskan, hasil prediksi curah hujan tahun 2009 menggunakan ANFIS menunjukkan bahwa puncak curah hujan di wilayah Jakarta akan terjadi pada Februari 2009. ”Tingkat curah hujan bulanan tahun ini masih di bawah curah hujan pada tahun 2002 dan 2007 sehingga banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta tahun ini tidak sebesar banjir tahun 2002 dan atau 2007,” ujarnya menjelaskan. Adapun prediksi bilangan sunspot menunjukkan bahwa nilainya mengalami kenaikan dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 yang diikuti oleh meningkatnya curah hujan di wilayah Jakarta. Penerapan ANFIS ini, lanjutnya, memungkinkan upaya antisipasi dan mitigasi menghadapi banjir di DKI Jakarta hingga ke pencegahan bencana tersebut. Sekarang ini sistem yang dipasang untuk tujuan responsif berupa pemantauan untuk peringatan dini banjir. Untuk mengembangkan sistem prediksi hingga pemantauan banjir di Jabodetabek, sistem ANFIS akan dipadukan dengan sistem pemantau radar cuaca yang dibangun di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) di Serpong yang juga dikelola BPPT. ”Ke depan diperlukan integrasi seluruh sistem yang dikembangkan masing-masing instansi, antara lain BMKG dan Departemen Pekerjaan Umum,” harapnya. Sistem yang ANFIS yang dikembangkan sejak tahun 2004 bisa melakukan prediksi tahunan menjadi lima harian, bahkan hingga hitungan beberapa jam ke depan. Jauh lebih akurat! Oleh YUNI IKAWATI
Post Date : 21 Januari 2009 |