|
JAKARTA banjir, itu cerita lama. Namun, kalau sekolah anak-anak kita terus-menerus kebanjiran, tentulah sedih melihatnya karena sudah pasti mengganggu aktivitas belajar dan mengajar. Begitulah situasi yang dialami oleh SLTP Gita Kirtti (Giki) 2 yang ada di Jalan Sunter Jaya IV/2 atau Jalan H Amsir, Jakarta Utara. "Kalau hujan terus-terusan selama tiga jam, sekolah langsung banjir," kata Sandy, salah seorang murid kelas tiga SLTP Giki 2, Senin (29/3). Kompleks sekolah yang berpagar biru, bercat campuran krem dan coklat tua itu digunakan secara bergantian oleh tiga sekolah. Selain oleh SLTP Giki 2 juga dipakai untuk belajar siswa SMU dan SMK Giki 2. SLTP dan SMK Giki 2 masuk pagi, sedangkan siswa SMU Giki 2 masuk siang hari. Bangunan kompleks sekolah Giki 2 tersebut tidak bisa dibilang nyaman karena di sebuah sudut ada satu ruang kelas yang ambruk, dan hingga kini belum diperbaiki. Sementara itu, teras kelas yang berlantai semen sudah mulai berlubang-lubang. Lapangan bermain yang tidak terlalu luas membuat murid menjadi tidak leluasa bermain bola-entah sepak bola, bola basket ataupun bola voli-karena takut bola yang mereka mainkan menghantam kaca kelas yang mengitari lapangan. Kepala SLTP Giki 2 Drs Tjipto Murdoko SPd menuturkan, sebenarnya mereka sejak lama ingin meninggikan sekolah sekitar 50 cm, mengganti atap yang mulai tua dan memasang keramik untuk kelas yang masih berlantai semen. "Tapi kami belum ada dana. Tahun 2003 kami pernah mengajukan permohonan bantuan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp 76 juta untuk membeli keramik, lalu tahun ini kami ajukan juga Rp 272 juta untuk meninggikan kelas, mengganti genteng, dan keramik, tapi belum ada jawaban," kata Tjipto. SEKOLAH selalu kebanjiran, kelas ada yang roboh dan bahkan lantai teras sekolah rusak, tak membuat murid-murid SLTP Giki 2 ini tak mampu mencetak prestasi. Siswa yang notabene berasal dari keluarga menengah ke bawah, seperti anak-anak buruh mencuci pakaian, tukang bangunan, tukang ojek, sopir angkot di wilayah Sunter dan Sumur Batu tersebut memang bukan anak-anak yang sangat pintar. Seperti dikatakan Tjipto Murdoko, siswanya rata-rata adalah anak-anak yang tidak diterima di SLTP negeri karena Nilai Ebtanas Murni (NEM) mereka kurang. Meski demikian, beberapa di antara mereka ada yang mampu mengukir prestasi di bidang modeling ataupun saat lomba Paskibra di Lab School, di mana SLTP Giki 2 menempati urutan keempat dari 30 sekolah peserta lomba. Sistem pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum nasional dan menjadikan SLTP negeri lainnya sebagai pedoman. Ada pendidikan bahasa Inggris tambahan seminggu dua kali, hanya saja sedikit sekali yang berminat hadir di kelas. Ada juga aktivitas berenang di Danau Podomoro Sunter sebulan sekali di hari Rabu, ataupun kursus komputer setiap hari Sabtu selama dua jam. SLTP Giki 2 ini memiliki sekitar 200 siswa, terbagi atas lima kelas: kelas I ada dua kelas, kelas II satu kelas, dan kelas III ada dua kelas. Kelas I dan II membayar iuran sekolah sebesar Rp 50.000 setiap bulannya, sedangkan siswa kelas tiga membayar Rp 70.000 setiap bulan. "Uang Rp 70.000 itu, yang Rp 5.000 itu untuk uang renang, Rp 50.000 untuk Yayasan Gita Kirtti dan digunakan untuk membayar tenaga guru sebanyak 15 orang. Sisanya, Rp 15.000, adalah uang komite yang digunakan untuk pemeliharaan sekolah ataupun komputer. Cukup? Tentu saja tidak. Tapi kami harus bertahan," tutur Tjipto. PEMASUKAN yang tidak terlalu besar dari uang sekolah yang dibayarkan siswa, tentulah berkorelasi pada pendapatan para gurunya. Guru-guru SLTP Giki 2 umumnya mendapatkan uang mengajar sesuai dengan jumlah jam mengajar yang dijalaninya. Untuk tiap jam tatap muka dihargai Rp 10.500. Jadi, kalau seorang guru mengajar selama 30 jam dalam sebulan, maka penghasilannya berkisar Rp 315.000. Dengan penghasilan yang tidak terlalu besar, bagaimana guru-guru itu bisa bertahan? "Kalau saya memberi les privat di luar jam sekolah. Sekarang ini saya punya tiga orang murid les privat yang berasal dari luar sekolah. Lumayan untuk menambah penghasilan," kata Supartini, guru bantu SLTP Giki 2 yang mengajar bahasa Inggris sejak tahun 1990. Apa yang membuatnya terus bertahan menekuni profesinya selama 14 tahun ini, menurut Supartini, itu lebih karena panggilan hati nurani. Tentu saja, tanpa idealisme seperti itu guru-guru tidak akan mampu bertahan lama mengajar murid-murid mereka. Lalu bagaimana dengan penerapan disiplin sekolah terhadap para murid? Tiga siswa SLTP Giki 2-Sandy, Asep, dan Rahmat-yang Senin kemarin berbincang dengan Kompas menyatakan, mereka berada di luar ruang kelas tersebut justru karena sedang dihukum. Penyebabnya, mereka lupa membawa buku pelajaran. Dalam konteks ini, sebetulnya disiplin sekolah pun tetap ditegakkan. Hanya saja, penegakan itu lebih bersifat hukuman semata tanpa memberi semacam tugas-tugas tambahan. Taruhlah seperti membersihkan sekolah, atau tetap mengikuti kegiatan belajar-mengajar dari luar kelas. Hukuman berat lainnya adalah jika siswa terlibat tawuran maka akan dikeluarkan dari sekolah. Pengumuman semacam itu terpampang jelas di luar ruang kerja kepala sekolah. Namun, kenyataannya, murid-murid SLTP Giki 2 tetap saja ada yang terlibat tawuran, bahkan tawuran terjadi hampir tiap Sabtu, dan mereka yang terlibat hanya diskors seminggu sebagai hukuman. Bagi sebagian siswa, hukuman tidak masuk sekolah selama seminggu tersebut justru membuat mereka bertambah senang. Agaknya, sudah waktunya pihak sekolah menjatuhkan hukuman tegas: sesuai aturan mereka perlu dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari sekolah. Begitulah gambaran selintas sekolah-sekolah kita di pinggiran Jakarta. Dana yang tidak memadai, uang sekolah yang tetap dirasakan mahal bagi siswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, dan guru-guru yang bergaji rendah. Potret demikian haruslah disudahi jika kita ingin agar sumber daya manusia kita mampu bersaing secara global. Bagaimana caranya? Pemerintah harus memprioritaskan anggaran untuk menyubsidi biaya pendidikan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang selayaknya. (LOK) Post Date : 30 Maret 2004 |