Potret Buram Pengendali Banjir

Sumber:Kompas - 15 Juni 2009
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Ketika dibangun seabad lalu, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur dirancang Belanda untuk mengendalikan banjir di Kota Semarang. Dengan bentuk topografi dataran rendah di bagian utara dan perbukitan di selatan, Kota Semarang dinilai memiliki potensi untuk terkena banjir.

Namun, niat baik petinggi Belanda saat itu rupanya tidak berhasil diteruskan oleh Pemerintah Indonesia baik di tingkat daerah maupun pusat. Penanganan Banjir Kanal hanya menjadi proyek tambal sulam yang tidak kunjung berhasil menangani banjir.

Ketika tim Kompas memantau Banjir Kanal, Sabtu dan Minggu (14/6), potret buram dua sungai besar pengendali banjir di Kota Semarang dapat tergambar jelas. Tingginya sedimentasi, bangunan liar di bantaran sungai, dan pendangkalan muara sungai menjadi pemandangan selama perjalanan.

Tengok saja, Banjir Kanal Timur (BKT). Sungai sepanjang 17,8 kilometer yang membentang dari Bendungan Pucanggading, Kecamatan Tembalang, dan bermuara di Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, itu menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pintu air Pucanggading membagi aliran Kali Penggaron menuju BKT dan Kali Babon. Enam pintu tersebut harus memastikan debit air di Kali Babon tidak boleh melebihi 78 meter kubik per detik dan aliran ke BKT tidak boleh melebihi 145 meter kubik per detik. Apalagi, debit BKT akan ditambah lagi dengan aliran dari Kali Kedung Mundu, Kali Bajak, dan Kali Candi.

Sedimentasi berupa tanah bercampur sampah sudah menghiasi pemandangan BKT di titik awal, atau hanya berjarak sekitar 10 meter dari pintu air. Kondisi ini juga ditemukan di tengah sungai yang melintasi Kelurahan Gemah, Pedurungan.

Sedimentasi terparah di sungai tersebut terdapat di sisi utara Jalan Majapahit hingga Jalan Kaligawe. Hamparan tanah yang telah menghijau menimbun tepi sungai sehingga lebarnya hanya menjadi sekitar sepersepuluhnya.

Di dekat muara, wajah BKT tampak dipenuhi air hingga batas tepian sungai karena endapan jauh berkurang. Tampak tambak warga dibangun bersebelahan dengan daerah aliran sungai (DAS). Akibatnya, jika BKT meluap, petambak merugi antara Rp 2 juta - Rp 6 juta karena bibit bandeng dan udang mereka hilang tersapu air. "Itu di luar kerugian dari tanggul tambak yang jebol," kata Sabar (63), salah seorang petambak.

Begitu tiba di muara, tinggi sungai hanya sekitar 0,5 meter karena pendangkalan dari material yang dibawa ombak. "Kalau seperti ini kan aliran sungai pasti tertahan," ucap Sugiarto (47), salah seorang warga Kelurahan Tanjungmas. Banjir Kanal Barat

Sama seperti kondisi Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat juga memiliki permasalahan sama, sedimentasi dan sampah. Penumpukan sedimentasi dan sampah terlihat jelas di sepanjang aliran sungai di utara Bendungan Simongan.

Setelah melewati bendungan yang menjadi hulu Kali Semarang itu, arus sungai yang menuju ke utara terbelah karena ada beberapa "pulau" kecil bentukan sedimentasi. Tumpukan pasir dan material yang terjadi selama bertahun-tahun itu ditumbuhi rumput tebal dan sudah menjadi tempat yang nyaman bagi beberapa warga untuk memancing ikan.

Berbagai macam sampah, seperti plastik, kertas, dan kayu tertahan di "pulau-pulau" kecil itu. Di tiang penyangga jembatan penghubung Jalan Basudewo dan Bojong Salaman juga ditumpuki sampah setinggi lebih 2 meter. Bahkan, Kompas menemukan ada bangkai kambing yang menyangkut di sekitar pintu bendungan, Minggu.

Sedimentasi tahunan juga terjadi di sepanjang tepian Banjir Kanal Barat. Puluhan kios semipermanen juga banyak ditemui di sepanjang bantaran sungai baik di pinggir Jalan Basudewo, Bojong Salaman, dan Kokrosono.

"Sebenarnya kami tidak boleh (membuka usaha) di sini. Pemerintah sudah melarang kami dengan alasan demi kelestarian sungai," kata Prayitno (60), tukang tambal ban di Jalan Bojong Salaman. Kios miliknya sudah berdiri sejak 15 tahun lalu. Harry Susilo dan Herpin Dewanto



Post Date : 15 Juni 2009