Jakarta, Kompas - Konsentrasi pembentukan awan yang menimbulkan hujan deras masih terpantau di sejumlah wilayah. Bahkan, potensi banjir dalam hitungan beberapa hari ke depan diperkirakan bisa meluas, antara lain, ke wilayah-wilayah pantai utara Jawa.
Konsentrasi pembentukan awan dipengaruhi dua hal, yaitu dorongan angin dingin (cold surge) dari belahan bumi utara dan suhu muka laut, terutama di barat Jawa, masih kuat menyuplai uap air. Suhunya masih berkisar 28 derajat celsius.
”Wilayah Jakarta dan sekitarnya, kemudian Karawang, Indramayu, hingga Semarang, dalam beberapa hari ke depan, masih berpotensi mengalami hujan deras. Peringatan juga disampaikan untuk wilayah lainnya,” kata Kepala Bidang Informasi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mulyono Prabowo, Kamis (18/2) di Jakarta.
Selain di wilayah Jakarta beserta pesisir pantai utara Jawa bagian barat dan tengah, BMKG juga menyampaikan peringatan dini prakiraan hujan deras di wilayah lainnya. Untuk periode 20-22 Februari 2010, diperkirakan hujan deras terjadi di Sumatera bagian selatan, pesisir barat Sumatera, Kalimantan bagian timur dan selatan, Jawa bagian barat, Sulawesi bagian tenggara, Maluku bagian tengah dan tenggara, serta Papua bagian tengah.
Dalam konferensi pers ”Evaluasi Banjir Jakarta dan Bogor 2010” bersama Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, Prabowo menyatakan, Indeks Surge yang menengarai dorongan angin dari belahan utara menuju selatan khatulistiwa pada 12 Februari 2010 mencapai positif 18.
”Indeks Surge itu terlampau tinggi hingga mendorong pembentukan konsentrasi awan yang menimbulkan hujan lebat,” kata Prabowo.
Dalam skala Indeks Surge positif 10 saja, menurut Prabowo, sudah memungkinkan terjadinya konsentrasi awan yang menimbulkan hujan deras. Pemantauan indeks tersebut berada di Hongkong sehingga menimbulkan dampak hujan deras di sejumlah wilayah Indonesia pada tiga hingga empat hari kemudian.
Sungai tidak terurus
Sutopo dari BPPT mengungkapkan, penyebab banjir saat ini ternyata bukan pada tingginya curah hujan, tetapi pada kondisi sungai yang tidak terurus dengan baik. Seperti banjir di wilayah Cisarua, Bogor, pada akhir pekan lalu, tercatat intensitas curah hujan hanya 115 milimeter.
”Intensitas curah hujan yang menimbulkan banjir di Jakarta pada tahun 1996 mencapai 300 milimeter, pada tahun 2007 mencapai 339 milimeter, jauh di atas curah hujan 115 milimeter,” kata Sutopo.
Sutopo mencontohkan, 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta juga dalam kondisi debit tampungan rendah, berkisar 17,5 persen hingga 80 persen. Sungai Ciliwung menempati debit tampungan terendah 17,5 persen (angka 100 dari 570 meter kubik per detik), sedangkan Sungai Mookervart paling tinggi mencapai 80 persen (angka 100 dari 125 meter kubik per detik).
”Ada rencana pembangunan waduk di hulu Sungai Ciliwung, yaitu Waduk Ciawi, yang diharapkan menampung 10 juta meter kubik di atas lahan 204 hektar. Tetapi, kontribusi mengurangi banjir di Jakarta itu masih terlampau rendah, hanya 1 persen,” kata Sutopo.
Sutopo menyarankan, untuk mengurangi potensi banjir, yakni dengan cara memperbanyak situ atau embung-embung, mulai dari wilayah hulu hingga sepanjang daerah aliran sungai dengan volume kecil hingga 100.000 meter kubik.
Selain mengurangi risiko tanggul jebol, keberadaan situ atau embung juga akan menyelamatkan ekologi setempat.
”Mengatasi banjir tidak bisa dengan sekejap. Harus dilakukan secara komprehensif serta diperlukan keseriusan semua pihak,” kata Sutopo. (NAW)
Post Date : 19 Februari 2010
|