|
Desa Kotayasa, Kecamatan Sumbang, Banyumas, sebenarnya bukan kawasan kering kerontang. Desa yang terletak di kaki Gunung Slamet, pada ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut, itu memiliki dua mata air: di kawasan Tuk Seladan dan Tuk Poh. Hanya saja, warga desa harus menyusuri jalan setapak berbukit-bukit sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air bersih. Bayangkan saja kerepotan yang terjadi. Kalau tak mau berjalan, bisa mengupah orang Rp 10.000-15.000 untuk menimba air. ''Tapi itu dulu, 10 tahun lalu,'' tutur Turwiyati, 53 tahun, seorang warga Kotayasa. Kini ibu tiga anak itu cukup berjalan kaki ke sebelah utara atau selatan RW 5 yang berjarak 100 meter dari kediamannya. Ada dua bak penampungan air bersih sebesar 6 meter kubik di sana. ''Semua itu berkat Pak Sudiyanto dengan pompa air yang dibuatnya itu,'' kata Turwiyati. Sudiyanto, 43 tahun, bukan seorang pejabat penting atau tokoh masyarakat. Kedudukan tertinggi yang pernah dicapainya adalah kepala desa hingga 2007, setelah sebelumnya pernah menjadi karyawan koperasi dan tukang ojek. Kini Sudiyanto menjadi petani dengan sawah seluas 2.800 meter persegi. Untuk menambah penghasilan, Sudiyanto pun punya kerja sampingan sebagai pembuat pompa. Tapi kerja sampingan inilah yang membuat Sudiyanto jadi kondang. ''Sudah ratusan pompa yang saya buat dan pasang di berbagai daerah,'' kata suami Suhartik itu. Pompa made in Sudiyanto ini cukup istimewa, yakni hydraulic ram (hidram), sebuah pompa air bertenaga air. Ya, hidram tak memerlukan listrik atau bahan bakar minyak, tetapi cukup tenaga air. Pompa hidram karya Sudiyanto mampu menarik air hingga sejauh 1.015 meter dari mata air ke perumahan penduduk, dengan ketinggian hingga 300 meter. ''Saya memang terobsesi untuk mempermudah warga memperoleh air bersih,'' ujar Sudiyanto. Teknologi pompa hidram sudah berlangsung lama (lihat: Tarikan Pompa Hidram). Sudiyanto mengenal hidram dari sebuah buku kusam di perpustakaan desa, 10 tahun silam. ''Isinya, petunjuk cara membuat pompa tenaga air dengan teknologi dari Belanda,'' kata Sudiyanto. Pompa ini segera menarik perhatian Sudiyanto, apalagi mengingat kondisi Desa Kotayasa yang sulit air bersih. Modal awal membuat hidram terkumpul sebesar Rp 5 juta, sumbangan dari sejumlah kerabat. Tapi banyak juga warga yang tak percaya pada proyek Sudiyanto. Bayangkan saja, bagaimana mungkin sebuah pompa dapat mengalirkan air dari tempat yang jauh, ke tempat yang tinggi pula, tanpa listrik atau catu daya lainnya sama sekali? ''Saya dianggap wong gemblung, orang gila,'' tutur Sudiyanto sembari tersenyum. Sialnya, Sudiyanto berkali-kali gagal mewujudkan pompa idamannya. Cemoohan pun makin menjadi-jadi. ''Tapi itu malah membuat saya makin bersemangat,'' katanya. Akhirnya pompa Sudiyanto berhasil menaikkan air, tetapi cuma setinggi 7 meter. Sejumlah warga RT 2 sudah dapat menikmatinya. Setelah berjalan tujuh bulan, pompa itu tiba-tiba bocor. Tapi itu justru membuat semburan air makin kencang. Sudiyanto pun kembali mengotak-atik, merancang ulang bangunan pompa. Rupanya lubang bocor tadi berpengaruh pada gerakan katup pemasukan dan pembuangan air sehingga menjadi lebih cepat. Setelah membuat posisi lubang yang tepat, Sudiyanto mampu menarik air hingga ketinggian 300 meter. Menurut Sudiyanto, teknik ini seperti membuat dua lubang pada kaleng susu. ''Satu lubang untuk aliran udara yang memperlancar keluarnya susu di lubang lainnya,'' ujar Sudiyanto. Seorang keponakan Sudiyanto yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto menyarankan agar proyek hidram ini diikutsertakan dalam lomba karya inovatif. Lomba ini diselenggarakan Indonesia Daya Masyarakat, sebuah LSM di Jakarta. Pompa hidram Sudiyanto langsung mendapat penghargaan utama, dengan hadiah uang mencapai Rp 150 juta. ''Saya sempat pingsan di hotel begitu mendengar jadi juara,'' kata Sudiyanto. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan hadiah itu di Istana Negara. Sudiyanto tak menikmati hadiah itu seorang diri. Dana itu justru dijadikan modal untuk membangun enam instalasi air bersih lainnya. Sebuah pompa hidram berikut instalasinya menghabiskan dana Rp 10-Rp 15 juta. Dana selebihnya digunakan untuk pembebasan lahan, termasuk kawasan dua mata air Desa Kotayasa. Kini Kotayasa memiliki dua bak penampung air bersih di sebelah selatan dan utara desa, cukup untuk kebutuhan setidaknya 576 kepala keluarga (KK). Instalasi air bersih ini sekarang dikelola Paguyuban Masyarakat Pendamba Air Bersih (PMPAB). Tiap-tiap KK dipungut iuran Rp 2.000. ''Itu untuk biaya perawatan dan kebersihan yang dikelola paguyuban,'' ungkap Sudiyanto. Sejak itu, Sudiyanto jadi sibuk menerima order membuat pompa hidram dari berbagai daerah, seperti Purwokerto, Ngawi, Bogor, dan Bandung. Bahkan keandalan pompa Sudiyanto terdengar hingga ke kawasan transmigrasi Bandar Penawar, Sumatera. Untuk setiap unit instalasi hidram, Sudiyanto mematok harga Rp 10-Rp 15 juta, tergantung jauh dekat dan kondisi lokasi. ''Tapi, kalau untuk pesantren, ada harga damai,'' kata Sudiyanto. Tak hanya itu. Pompa hidram ala Sudiyanto mendapat pengakuan nasional. Dalam pemilihan Indonesia Berprestasi Award 2008, para juri yang terdiri dari ilmuwan, wartawan, dan sosiolog memutuskan Sudiyanto sebagai salah satu pemenang untuk kategori bidang ilmu dan teknologi, November 2007. Karya Sudiyanto itu mengalahkan setidaknya 939 kandidat lainnya. Bahkan, pada putaran final, pompa hidram Sudiyanto mengalahkan karya seorang profesor berupa teknologi listrik tenaga surya. ''Kami memilih mereka yang mampu membangkitkan semangat anggota masyarakat lain, sekecil apa pun prestasi yang dibuat orang tersebut,'' kata Adrie Subono, seorang juri. Tarikan Pompa Hidram Impian manusia akan peralatan bebas energi telah berlangsung lama. Setidaknya, itu tercermin pada teknologi pompa hidram bertenaga air yang ditemukan sejak abad ke-16. Adalah John Whitehurst dari Cheshire, Inggris, yang tercatat pertama kali menciptakan teknologi hidram pada 1772. Ketika itu, Whitehurst berhasil memompa air mencapai 4,9 meter. Pompa ini cukup populer karena hemat energi, bebas perawatan, dan simpel. Cara kerjanya cukup sederhana, dengan mengandalkan dua katup yang terdapat pada pompa. Yakni katup pemasukan dan katup pembuangan air. Selebihnya, hidram punya rangkaian pipa dari sumber air menuju perumahan penduduk. Pompa hidram bekerja atas dasar sistem hidrolik dan grafitasi bumi. Syarat utamanya, sumber air harus terletak lebih tinggi dari pompa hidram. Selanjutnya ia dapat menghantarkan air lebih tinggi lagi (lihat gambar). Bagaimana bisa begitu? Awalnya, air mengalir deras dari mata air ke dalam pipa pemasukan (nomor 1), sehingga katup pembuangan (nomor 4) terbuka. Suatu saat, karena desakan arus, katup pembuangan kemudian menutup (nomor 2), sehingga arus air mendesak katup pemasukan air terbuka (nomor 5). Air pun mengalir ke dalam tabung (nomor 6) dan pipa air ke perumahan penduduk (nomor 3). Karena posisi pipa lebih tinggi, aliran air pun melambat, membuat katup air masuk menutup. Ketika ini terjadi, desakan air pada katup pembuangan hilang, sehingga katup kembali terbuka. Ini membuat proses pemompaan terjadi dari awal lagi. Tabung udara tadi membuat proses ini menjadi lebih konstan, sehingga pasokan air terus mengalir. Cara kerja pompa hidram memang simpel. Tetapi, untuk membuatnya bekerja optimum, diperlukan uji coba berkali-kali. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah diameter pipa air. Menurut Sudiyanto, perbandingan masuk-keluar air adalah 4:1:3. Maksudnya, jika menggunakan pipa air masuk sebesar 4 inci, maka pipa penghantar hendaknya berukuran 1 inci. ''Sebagian air sisa mengalir ke katup pembuangan yang berlubang sebesar 3 inci,'' kata Sudiyanto. Selain itu, harus juga diperhatikan letak kemiringan dan ketinggian antara sumber air, pompa hidram, dan perumahan penduduk. Masing-masing memiliki posisi yang harus diperhitungkan. Posisi pompa hidram, misalnya, harus lebih rendah dengan sudut 30-60 derajat dari sumber air (lihat gambar). Ketinggian kawasan perumahan pun harus diperhitungkan. ''Makin tinggi daerah yang dituju, sudutnya makin kecil,'' ujar Sudiyanto. Faktor gravitasi dan kondisi lokasi sumber air ini memang membuat pompa hidram tak bisa diterapkan di sembarang tempat. Selain itu, menurut penelitian Universitas Clemson, Amerika Serikat, pompa hidram cukup boros air. Untuk tiap 1 galon (4,5 liter) air yang dipasoknya, setidaknya 8 galon air harus mengalir melalui katup pembuangan. Karena itu, air buangan ini harus ditampung atau diolah kembali. Toh, bagi kawasan perbukitan yang sulit air, pompa ini tentu menjadi teknologi yang sangat berjasa. Syamsul Hidayat (Semarang) dan Nur Hidayat Post Date : 28 Januari 2009 |