SIAPA pun yang pernah menginjak Kepulauan Seribu pasti tak akan kaget menemukan sampah plastik mengapung di lautan bebas. Itu tidak meng herankan, mengingat produksi sampah di Jakarta setiap hari nya mencapai 6.000-6.500 ton, berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mayoritas berasal dari sampah rumah tangga.
Selain ke tempat pembuangan akhir (TPA), masih banyak warga yang membuang sampah mereka ke 13 sungai utama di Jakarta. Padahal, sungai itu ibarat pipa, sementara Teluk Jakarta adalah saluran pembuangannya.
Akibat gelombang laut, sampah yang berada di pinggir Teluk Jakarta lama-lama terbawa hanyut. Sebagian mengapung, sebagian terbawa ke tepi pantai pulau-pulau di Kepulauan Seribu dan mengotori halaman pantai. Bagi warga Pulau Panggang, keberadaan sampah ini mulai mengganggu kehidupan mereka. Selain tak sedap untuk dipandang mata, sampah juga membuat wisatawan terganggu.
Bekerja sama dengan Taman Nasional (TN) Kepulauan Seribu, Kelurahan Pulau Panggang ditetapkan sebagai desa konservasi berdasarkan keputusan Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.
“Penetapan sebagai desa kon servasi karena melihat masyarakat itu sudah punya niat, keinginan untuk memperbaiki lingkungan,” kata Staf Urusan Pemberdayaan Masyarakat Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jany Triraharjo, kepada Media Indonesia di Jakarta, Sabtu (16/4).
Masyarakat kemudian membuat Sentra Penyuluhan Konservasi Pedesaan (SPKP) Samo-samo pada 2008. Kegiatan pembersihan sampah awalnya dilakukan dengan memunguti sampah dan membuang pada tempatnya. Pihak TN kemudian memfasilitasi pertemuan antara masyarakat setempat dan LSM JAAN.
“Muncul konsep dan program yang selaras antara SPKP Samosamo dan JAAN. Kita mulai dengan Program Laut bukan Tempat Sampah. Masyarakat mulai memilah sampah dan mulai berpikir untuk memanfaatkannya dibuat sebagai produk,” sambung Jany.
Sekretaris SPKP Pulau Panggang, Salahudin, menuturkan, awalnya kegiatan ini tidak banyak menarik minat warga.
Namun masyarakat sekitar melihat pengolahan limbah plastik sebagai peluang untuk mendapat tambahan penghasilan bagi keluarga yang mayoritas berprofesi nelayan.
“Sekarang ada 30 pekerja yang mengerjakan order. Mereka dibagi dua, sebagian membuat order yang harus disetor ke toko sebagai display wajib tiap bulan. Sebagian lagi membuat order yang datangnya tak tentu," jelas Salahudin.
Lelaki yang kini berstatus mahasiswa ekstensi ini menjelaskan harus ada 200 item produk yang disetor ke toko yang berada di Pulau Pramuka.
Namun, permintaan masyarakat cukup tinggi sehingga SPKP mulai kewalahan. Permintaan datang dari kelompok usaha atau masyarakat umum, bah kan luar negeri. Jaringan SPKP yang tepat telah menembus pasar Belanda saat produk mereka ditampilkan dalam acara Trash and Carry pada November 2010.
“Sementara ini, usaha ini masih sampingan. Yang mengerjakan utamanya adalah ibu rumah tangga yang menganggur di ru mah. Di antara mereka ada yang tidak pernah bersekolah dan paling tinggi hingga SMA,” cerita Salahudin.
Pengurus SKPP masih bertanggung jawab untuk urusan desain dan bentuk produk, juga memberikan pelatihan seputar cara memilih plastik dan mengguntingnya di bengkel kerja yang buka pukul 08.00 hingga 16.00.
“Ada laptop, ada dompet kecil, ada tas kecil, ada tas HP (ponsel). Kita juga membuat pesanan da ri perusahaan, juga pernah mem buat sackdress dan pakaian laki-laki untuk ditampilkan di Belanda,” tuturnya.
Harga produk bervariasi dari Rp25 ribu hingga Rp100 ribu, dengan kualitas yang kata Salahudin masih perlu ditingkatkan.
Pemasaran pun masih menjadi masalah. Masyarakat dinilai masih membedakan produk dari material baru dan material sampah.
“Ada yang melihat produknya, terus dibilang bagus. Tapi, saat melihat harganya, Rp35 ribu, misalnya, mereka bilang sangat mahal sehingga tidak jadi beli.
Jangan dilihat harganya, tapi harus juga dilihat bahwa dengan uang yang dikeluarkan itu, kita telah berkontribusi untuk lingkungan,” imbuh Jany. (Din/M-3)
Post Date : 19 April 2011
|