|
JAKARTA - Ratusan warga Desa Bojong Kelapanunggal, Bogor, Jawa Barat, Senin (8/3), berunjuk rasa di Mabes Polri. Mereka memprotes intimidasi dan penyiksaan, yang disinyalir melibatkan petugas dari Polresta Bogor terhadap warga setempat, terkait penolakan beroperasinya tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Kampung Rawajeler, Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Pengunjuk rasa, yang sebagian besar kaum wanita, mendesak Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar agar tidak segan-segan mengingatkan, bahkan menjatuhkan sanksi kepada anggota Polri, yang terbukti menganiaya atau sewenang-wenang kepada warga. Pengunjuk rasa menambahkan, kehadiran petugas tersebut semestinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan justru bertindak arogan. Kedatangan polisi di desa tersebut justru menimbulkan ketakutan. Unjuk rasa damai itu berlangsung pukul 12.00 sampai pukul 14.00. Warga datang dari Bogor dengan mengendarai 12 bus dan kendaraan roda empat lainnya, dengan didampingi puluhan lembaga swadaya masyarakat antara lain, Walhi Jakarta, PBHI, YLHBI, LBH Jakarta, Pijar Indonesia, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan (FKML) Bogor, dan Kontras. Selama di Mabes Polri, enam warga yang mewakili pengunjuk rasa diterima Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Irjen Pol Basyir Ahmad Barmawi. Kemudian rombongan tersebut melanjutkan perjalanan ke Kantor Komnas HAM. Basyir mengatakan, aspirasi warga Bojong yang memprotes keberadaan TPST ditampung. Ia berjanji akan mengkoodinasikan dengan pihak terkait untuk menangani masalah tersebut. Ia pun berjanji menyelidiki petugas Polres Bogor yang bertindak sewenang-wenang saat mengamankan lokasi TPST. "Kami berterima kasih atas masukan warga yang berunjuk rasa itu, namun bagaimana langkah penanganannya, harus dikoordinasikan. Pada prinsipnya, tugas dan kewenangan anggota Polri di mana pun berada, tetap sebagai pengayom dan pelindung masyarakat," kata Basyir kepada pers, di Mabes Polri. Represif "Sejak TPST ditolak warga, kemudian datang anggota polisi berpakaian preman atau dinas, justru membuat kami dan warga lainnya menjadi takut dan sedih. Mereka di sini (Desa Bojong, Red) bukan mau melindungi warga, tapi terus menakut-nakuti dengan berbagai cara, seperti membuang tembakan, dan ada pula yang tega menganiaya warga, termasuk datang ke rumah-rumah seraya meminta warga agar tidak menolak TPST atau berontak," kata Wasir (30) warga Bojong, saat ditemui di sela-sela unjuk rasa damai yang digelar di depan Kantor Humas Mabes Polri. Umi (24), yang turut berunjuk rasa bersama suami dan dua anaknya, menilai tindakan anggota Polres Bogor saat bertugas mengamankan TPST berlebihan. Ia sempat didatangi dua pria yang mengaku anggota Polres Bogor, yang meminta agar warga tidak memprotes beroperasinya TPST. "Kami dan keluarga jelas takut saat didatangi petugas tersebut lebih dari satu kali dengan cara mengancam. Yang pasti kami juga tidak setuju jika TPST tetap beroperasi di sekitar Desa Bojong. Selain baunya menyengat, juga lalu lalang truk merusak jalan," ujar Umi, yang mengibaratkan kondisi warga di sana ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Selain terus dihantui ketakutan dan ancaman oleh polisi, lingkungan pun tercemar. Triyasa, juru bicara LSM, menilai Polri dalam mengamankan di TPST Bojong jelas sudah menerapkan perilaku represif, sebagai beking penetapan lokasi pembuangan sampah tersebut. "Aksi penangkapan, kekerasan, dan intimidasi yang menimpa warga Bojong hendaknya segera dihentikan. Polri yang kebetulan dipercaya mengamankan TPST oleh pengelola lokasi itu, yakni PT Wira Gulfindo Sejahtera (WGS) jangan membiarkan kejadian tersebut kian parah. Petugas di sana semestinya mampu menjaga kewibawaan Polri, dan jangan sampai menjadi pemicu konflik," katanya Sejak meningkatnya protes warga Bojong atas beroperasinya TPST pada awal Maret lalu, sedikitnya empat warga setempat ditangkap dengan tuduhan menghalang-halangi keberadaan pengelolaan sampah itu serta memprovokasi warga setempat. Triyasa menambahkan, penangkapan warga tersebut merupakan perampasan hak. Petugas bersama jajaran Pemkab Bogor jelas diskriminatif saat menangani operasinya TPST. Mereka lebih mengutamakan kepentingan bisnis dalam rangka mengeruk keuntungan sepihak, tanpa memperhatikan kondisi warga atau lingkungan setempat. Ketegangan beberapa kali terjadi di Bojong. Pada 4 Desember 2003, misalnya, seperti diceritakan Niam, warga Kampung Ciuncal, Desa Situsari, polisi mengeluarkan tembakan ketika membubarkan massa. Pada 23 Desember 2003 petang, petugas dari Polres Bogor bentrok dengan sekitar 700 warga dari enam desa yang memprotes pembangunan TPST Bojong. Akibat bentrokan, tiga orang mengalami luka, yakni Nurhayati (27), Yanto (22), dan Cecep (23). Pada 26 Januari 200, puluhan warga yang menolak TPST Bojong, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Bogor. Mereka mengadukan tindak intimidasi, sejak kehadiran aparat keamanan dari Polres Bogor dan tentara di lokasi TPST. Naim mengemukakan, Komisi A dan D DPRD Kabupaten Bogor pada intinya mendukung dan mengakomodasi aspirasi masyarakat. Para wakil rakyat itu juga telah meminta kepada Pemkab Bogor agar mengkaji ulang teknis pembangunan TPST Bojong. Kedatangan wakil warga, yang didampingi Suratno, Deputi Eksekutif Walhi Jakarta, juga menagih janji yang sempat disampaikan anggota DPRD setempat. DPRD Kabupaten Bogor menjanjikan akan merekomendasikan ditundanya pengoperasian TPST Bojong. Ternyata rekomendasi itu tidak dipatuhi. (G-5/126) Post Date : 09 Maret 2004 |