|
JAKARTA - Teknologi pengolahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang harus diubah. Dengan menampung produksi sampah ibukota sebanyak 6.000 ton per hari, teknologi yang diterapkan harus dikombinasikan dengan menggunakan incinerator. Menurut Direktur Pusat Kajian Kebijakan & Pengembangan Strategis (Puskaptis), Husin Yazid, dibutuhkan waktu lama untuk pembusukan sampah kalau menggunakan teknologi sanitary landfill sebagaimana diterapkan di TPA Bantar Gebang. Lama-kelamaan, tumpukan sampah akan terus meninggi karena setiap hari TPA Bantar Gebang mendapat setoran 6.000 ton sampah dari DKI. Saat ini, ketinggian sampah di TPA Bantar Gebang sudah mencapai 20 meter. "Makanya, harus dikombinasikan dengan teknologi incinerator untuk mengurangi beban sampah dolah di Bantar Gebang. Jadi nanti TPA Bantar Gebang akan berubah menjadi reusable sanitary landfill," kata Husin, kepada Pembaruan, di Jakarta, Selasa (14/2). Hal senada juga dikemukakan oleh Wali Kota Bekasi, Akhmad Zurfaih, kepada Pembaruan, Rabu (15/2). Dikatakan, pengelolaan sampah di Bantar Gebang yang selama ini dilakukan dengan menggunakan teknologi sanitary landfill (proses menghilangkan bau, Red) akan diubah menjadi teknologi incinerator. Teknologi ini sebelumnya digunakan di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bojong, Kabupaten Bogor. "Apa yang akan dilakukan di Bantar Gebang, kita harapkan berubah. Saat ini, tim independen sedang mengevaluasi apakah lokasi itu masih layak digunakan sebagai tempat sampah. Saya bilang sama Sutiyoso (Gubernur DKI, Red) supaya teknologi yang ada di Bojong dipindahin saja ke sini. Apalagi dengan tekonologi yang canggih dan tidak menimbulkan bau, masyarakat tidak akan protes," ujarnya. Menurut Husin, pengelolaan sampah Ibukota memang harus dilakukan secara terpadu dan moderen. Dalam konsep pengelolaan terpadu, sampah dipilah menjadi organik dan non organik. Nantinya, sampah organik dikomposkan dan non organik didaur ulang. Namun selama ini, proses pemilahan sampah tidak berjalan dengan baik, sehingga semua produksi sampah ibu kota langsung disetor ke TPA Bantar Gebang. Hal itu, membuat penerapan teknologi sanitary landfill tidak berjalan dengan baik karena beban sampah melebihi kapasitas TPA Bantar Gebang yang hanya sekitar 3.000 ton per hari. Itu sebabnya, lanjut Husin, pengelolaan sampah di Bantar Gebang harus dikombinasikan dengan teknologi incinerator. Dengan incinerator, sampah akan dibakar. Energi yang dihasilkan dari pembakaran dapat dimanfaatkan untuk listrik sedangkan arang dan abu sisa pembakaran digunakan sebagai bahan bangunan. Husin menilai, keinginan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk membangun instalasi sampah moderen di Bantar Gebang, merupakan langkah yang baik. Namun hal itu, akan tetap memberi dampak negarif karena berdekatan dengan pemukiman warga. "Sebaiknya, lahan untuk pengolahan sampah di arahkan ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Selain tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk, pengelolaan sampah di tempat yang baru bisa lebih ditata secara terpadu," kata Husin. Dia mencontohkan, konsep pengelolaan sampah terpadu yang berhasil antara lain di Fukuoka, Jepang. Teknologi yang diterapkan adalah incinerator. Dengan teknologi tersebut, pengelolaan sampah dapat dilakukan dalam waktu singkat atau kurang dari 24 jam. Abu dan arang sisa pembakaran dijadikan sebagai bahan material untuk reklamasi pantai di Jepang. Produk-produk hasil daur ulang sampah, juga diperjualbelikan dengan harga mahal. "Tempat tersebut, juga menjadi sarana pendidikan untuk anak sekolah yang ingin belajar tentang pengelolaan sampah dan kebersihan. Daerah di sekitarnya juga tumbuh menjadi sentra ekonomi," kata Husin. Dia menambahkan, Pemprov DKI mungkin akan keberatan memindahkan pusat pengolahan sampah ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu karena biaya angkut yang mahal. Setuju Sementara itu, Wali Kota Bekasi mengatakan, Gubernur DKI telah menyetujui ide perubahan teknologi pengolahan sampah di Bantar Gebang. Namun, gubernur tetap meminta Pemkot Bekasi untuk terlebih dahulu mengkaji apakah lokasi tersebut masih layak digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Informasi yang diperoleh Pembaruan dari Sekretaris Komisi B DPRD Kota Bekasi, Affandi, di lokasi tersebut tinggal sebanyak 63 jiwa. Tempat tinggal mereka dikelilingi oleh gunungan sampah. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa mendapat sinar matahari setiap pagi dan sore hari. "Komisi B sudah meninjau ke lokasi dan mendapatkan temuan yang cukup mengagetkan. Tinggi gunungan sampah yang mengelilingi mereka mencapai 20 meter. Oleh karena itu, kita langsung merekomendasikan kepada Wali Kota untuk segera merelokasi warga di tempat itu," tuturnya kepada Pembaruan, secara terpisah. (PS/J-9) Post Date : 15 Februari 2006 |