|
Krakatau Tirta Industri memberikan imbalan uang bagi warga yang turut serta menjaga kelestarian lahan di DAS Cidanau. Dua kepentingan terakomodasi. Air danau untuk kepentingan industri terjaga, sementara warga mendapat imbalan Rp 1,2 juta per hektare lahan yang tanamannya terpelihara. Pohon melinjo seharga Rp 150 juta? Ya, benar! Setidaknya itu yang terjadi di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten. Tidak hanya pohon melinjo, semua pohon dari semua jenis tanaman --mangga, durian, cengkeh, dan yang lain-- yang berketinggian lebih dari 2 meter dihargai ratusan juta rupiah. ''Pohon tersebut tidak boleh ditebang. Kalau sampai ditebang, kontrak kami bakal diputus,'' Ahmad Bahrani, Ketua Kelompok Tani Karya Mulya II, memberi alasan kenapa mematok harga mahal atas semua jenis tanaman yang ada di daerah aliran Sungai (DAS) Cidanau, 3 kilometer dari permukiman warga. Sejak 2005 silam, melalui Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), warga Citaman memang terikat kontrak dengan PT Krakatau Tirta Industri (KTI). FKDC beranggotakan 64 instansi pemerintah dari kecamatan hingga provinsi, badan usaha milik negara dan daerah, swasta, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli atas konservasi lahan DAS Cidanau. Forum ini mendapat mandat mengelola 100 hektare lahan konservasi. Selain dengan warga Citaman, forum meneken kontrak dengan warga Cibojong. Belakangan juga dengan warga Desa Cikumbueun, Kecamatan Mandalangi, dengan luas lahan yang sama. Daerah Citaman, Cibojong, dan Cikumbueun dipilih lantaran lahan di sana memiliki tingkat kemiringan yang berpengaruh langsung terhadap erosi sungai. Agar tidak terjadi penebangan pohon, maka kepentingan ekonomi mereka mesti dijaga. Caranya adalah dengan imbal beli tanaman. ''Kalau ada imbalan yang minimal sepadan dengan besaran yang diperoleh dari menebang pohon, tentu warga tak akan menjaganya,'' ujar N.P. Rahardian, anggota FKDC. Selama lima tahun masa kontrak, warga berkewajiban melestarikan pepohonan di lahan 25 hektare. Pembayaran jasa lingkungan oleh KTI bersifat voluntary, sukarela. Tidak ada undang-undang legal yang mengikat. Tiap hektare lahan dengan minimal 500 pohon, KTI memberi imbalan Rp 3,5 juta. Angka itu muncul dengan berpatokan biaya rehabilitasi hutan rakyat oleh pemerintah. Oleh FKDC, atas kesepakatan dengan warga, per hektare dihargai imbalan Rp 1,2 juta. ''Buah dan dedaunan masih jadi hak pemilik lahan. Jadi, buat apa kami mesti menebangnya,'' kata Bahrani. Sayang, kontrak dengan warga Desa Cibojong diputus Juni tahun lalu. Penyebabnya, saat dilakukan verifikasi tiga bulanan, Desember 2006 silam, beberapa batang pohon raib. Alasan warga, itu karena pencurian. Sesuai dengan prosedur, mereka mesti membuat laporan dengan melampirkan surat keterangan dari kepolisian. Namun, warga tidak mengindahkan hal itu. Bahkan jumlah pohon yang raib kian banyak. Karena itulah imbalan uang itu distop. ''Kami tak ingin kasus Cibojong terjadi di sini,'' kata Bahrani. Di wilayah Citaman, ada 43 kepala keluarga yang bergantung pada pepohonan di atas lahan di bawah kaki Gunung Karang. Cuma buah-buahan dan dedaunan yang dipetik untuk menyangga kebutuhan hidup. Ada durian, nangka, melinjo, cengkeh, dan kapulaga, yang dipanen satu-tiga kali setahun. Hasilnya, lumayan memadai. Bahrani yang mengelola 4,3 hektare lahan, misalnya, sekali panen bisa menghasilkan Rp 5 juta. Duitnya, seperlima masuk kas desa sebagai tabungan, sisanya baru dinikmati sendiri. ''Kini, sekalipun paceklik, kami tak lagi berani menebang atau menjual kayu,'' kata Bahrani. Imbal dana pengelolaan lahan ini, merupakan skema pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari rasa tanggung jawab lingkungan, dan terutama karena ketergantungan perseroan atas air di Rawadanau. Konsepnya, para pemilik tanah di hulu DAS Cidanau menghasilkan produk lingkungan berupa menjaga keberlanjutan ketersedian air di Rawadanau. Produk itu digunakan masyarakat dan industri di Cilegon, yang selama ini dinikmati secara gratis. Konsep tersebut berangkat dari pengalaman di masa lalu, di mana warga tidak peduli lingkungan. Karena desakan ekonomi mereka membabat pohon di sana. Akibatnya, hulu DAS Cidanau terus mengalami kerusakan yang parah. ''Konsepnya sederhana. Pengguna air Rawadanau harus membayar produk jasa lingkungan agar para pemilik tanah tidak menebangi pohon di tanahnya sendiri,'' kata Rahardian, yang juga Ketua LSM Rekonvasi Bhumi. Pembayarannya melalui lembaga pembayaran jasa lingkungan (LPJL), dalam hal ini adalah FKDC, yang kemudian menjalin kontrak dengan pemilik dan penggarap tanah. Dalam pembayaran jasa lingkungan, KTI memilih sistem pembayaran tak langsung. Mereka mengikat perjanjian dengan FKDC, yang mewakili kepentingan mereka dalam perjanjian pembayaran jasa lingkungan kepada warga. FKDC mengelola dana yang diberikan KTI dan mempertanggungjawabkannya, serta melakukan pembayaran untuk warga berikut pengawasannya. ''Kamilah yang terikat janji langsung dengan warga. Kalau sampai tak bisa bayar, kami bisa digeruduk warga,'' kata Rahardian. Kekhawatiran Rahardian tampaknya tak bakal terbukti. KTI malah punya harapan agar lahan konservasi kian diperluas. Itu terlihat dari jumlah dana yang diberikan. Kalau pada dua tahun pertama cuma Rp 175 juta per tahun. Pada dua tahun kedua meningkat menjadi Rp 200 juta. ''Manajemen KTI bertekad untuk menjaga kelestarian alam ini,'' kata Saritomo, Kepala Departemen Produksi PT KTI. Bahkan perusahan-perusahan lain yang mendapat suplai air dari PT KTI berminat untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan. Beberapa orang perwakilan perusahan, kata Saritomo, pernah diajak meninjau lokasi lahan dengan menyusuri Sungai Cidanau. ''Mereka meminta KTI yang meng-collect,'' ujar Saritomo. Luas lahan yang menjadi bagian dari pembayaran jasa lingkungan masih terlampau kecil dibandingkan dengan luasan DAS Cidanau. ''Pengaruh langsung belum begitu terasa,'' imbuhnya. Soal itu diakui oleh FKDC. Namun, meski belum dilakukan penelitian atas dampak dari konservasi dengan pembayaran jasa lingkungan, ada hasil positif yang laik dicatat. Transaksi jasa lingkungan yang menurut Rahardian diadopsi dari negara Kostarika itu kini sudah dikenal dan diterapkan. ''Kini tinggal meningkatkan kualitas dan kuantitas lahan. Juga perhatian pemerintah,'' kata Rahardian. Bergantung Air Rawadanau PT KTI, yang berdiri pada 1996, memanfaatkan air yang bersumber dari Rawadanau dengan menarik pipa sepanjang 28 kilometer ke pengolahan air bersih. Semula, air bersih itu untuk pemenuhan kebutuhan operasional pabrik baja di perusahaan induknya, PT Krakatau Steel. Dalam perkembangannya, air bersih itu juga diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan 80% dari 120 perusahaan di Cilegok. Sebagian besar merupakan industri vital macam Indonesia Power, yang memasok energi listrik untuk Pulau Jawa dan Bali. Juga untuk PDAM Cilegon. Kalau Rawadanau dan DAS Cidanau kritis, pasokan air pun terganggu. Apalagi kalau sampai tak ada aliran air, berhenti pulalah industri di seluruh Kota Cilegon. Bukan cuma itu, masyarakat Jawa dan Bali pun terimbas dampaknya. ''Tanpa pasokan air dari PT KTI, Indonesia Power cuma bertahan delapan jam,'' kata Rahardian. DAS Cidanau, yang semula bisa menahan debit banjir saat hujan dan menyimpan air saat kemarau, menjadi tidak teratur dan lebih sensitif terhadap perubahan debit. ''Potensi terjadinya kekeringan panjang saat musim kering dan banjir besar saat musim penghujan semakin besar,'' kata Rahardian. Penurunan debit Rawadanau dan fungsi DAS Cidanau akibat kerusakan lingkungan di lingkup DAS seluas 220.000 hektare. Dari areal seluas itu, cuma 200 hektare hutan milik negara, dan 2.500 hektare cagar alam. Selebihnya adalah hutan rakyat. Ketika musim paceklik, mereka pun menebangi pohon. ''Kayu itu dijual untuk beli beras,'' kata Rahardian. Akibatnya, ya itu tadi, terjadi kritis lahan di DAS Cidanau. Syamsul Hidayat Post Date : 21 Mei 2008 |