|
Impian Pemda Kota Bandung untuk memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tampaknya masih jauh dari kenyataan. Untuk sementara nasib pembangunan PLTSa yang direncanakan di kawasan Gedebage masih menunggu hasil gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung April 2008 lalu, yang dilayangkan warga perumahan Cempaka Arum karena lokasinya bersandingan dengan rencana pembangunan PLTSa. Memang rencana penanganan dan pengelolaan sampah yang dikembangkan Pemerintah Kota Bandung dengan membangun Pembangkit Tenaga Listrik Sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage tidak hanya mendapat penolakan dari warga setempat, yakni Perumahan Cempaka Arum, tetapi juga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar. Pasalnya, teknologi yang dikembangkan Pemkot Bandung itu yakni dengan menggunakan insenerator yang paling dikecam, karena akan menimbulkan dampak kesehatan bagi masyarakat disekitar PLTSa. "Kami akan terus berupaya menggagalkan rencana Pemkot Bandung untuk membuat pabrik sampah di wilayah kami, tegas Muhammad Tabroni yang merupakan Koordinator Aliansi Rakyat Tolak Pemaksaaan Pabrik Sampah di Permukiman (ARTP2SP) ketika ditemui KPS. Menurut Tabroni penolakan yang dilakukan warga bukan tanpa alasan. Tetapi sudah memperhitungkan dampak negatif yang dihasilkan dari adanya pabrik sampah yang akan menggunakan insenerator untuk membakar sampahnya. Menurutnya pembakaran sampah itu akan menghasilkan gas dioksin yang berbahaya bagi kesehatan. Tabroni menyayangkan Pemkot Bandung tidak melakukan dengar pendapat dengan masyarakat, sehingga terkesan Pemkot berjalan sendiri dan tidak mau mendengar aspirasi masyarakat sekitar PLTSa. "Saya sangat berharap ada itikad baik dari Pemkot untuk mendiskusikan persoalan PLTSa secara ilmiah, dengan mengundang semua stakeholders termasuk ahli lingkungan, "tandas Tabroni. Sementara itu warga di Perumahan Cempaka Arum sudah lama menjadi wilayah kampung belajar composting. Yakni membuat tempat pembuangan sementara (TPS) menjadi lokasi pembuatan kompos yang kemudian dijual atau dimanfaatkan sendiri untuk pupuk oleh warga. Hal itu dipaparkan Muhammad Tabroni saat memberi alternatif solusi, jika Pemkot kesulitan membuang sampahnya. Tabroni sudah mencontohkan untuk wilayahnya di kawasan perumahan Cempaka Arum dengan membuat dua tong sampah yang masing-masing diberi label non organik dan organik. Tidak hanya itu, di sejumlah rumah juga sudah dilakukan pembuatan kompos sendiri. Sehingga jika hal itu dilakukan oleh seluruh warga Kota Bandung, maka akan mengurangi sekitar 60 persen sampah basah. Terkait dengan rencana membangun PLTSa, Sekretaris Walhi Jabar, Afifi Rahmat mengatakan, teknologi PLTSa yang akan digunakan Pemkot Bandung itu akan menggunakan sistem insenerator atau pembakaran. Dengan teknologi itu, energi yang dihasilkan juga akan lebih besar dari yang diperoleh. Bahkan, pembakaran sampah untuk menghasilkan energi listrik tersebut akan menimbulkan gas berbahaya bagi kesehatan. la juga menjelaskan, teknologi PLTSa yang rencananya akan dikembangkan Pemkot Bandung sebenarnya tidak layak untuk digunakan. Sebab, nilai kalor yang terdapat pada sampah Kota Bandung lebih rendah dari 4 ribu kj/kg. "Sampah kita lebih dari 60 persennya basah. Jadi tidak layak digunakan untuk energi. Selain itu, dibutuhkan energi atau bahan bakar, seperti solar yang lebih besar untuk menghasilkan listrik yang banyak," ungkapnya. la mengungkapkan, untuk mengatasi sampah secara bersama, seharusnya Pemkot Bandung bisa membuat kebijakan insentif kepada produsen untuk memakai bungkus ramah lingkungan. Selain itu, masyarakat juga harus mau bekerjasama sejak awal untuk memilah sampahnya langsung dari rumah. "Sampah harus sudah dipilah, jarak ke pemukiman penduduk juga disesuaikan dengan aturan yang ada. Air lindi dari sampah juga harus dikelola dan tidak lupa angkutan sampahnya juga dibenahi," kata Afifi Sekretaris Walhi Jabar. la juga berharap, pemerintah Jabar juga turun tangan dalam penanganan sampah yang terjadi di Kota Bandung untuk menciptakan konsep sistematis dan terintegratif. "Kita juga selalu mengadvokasi warga untuk meminta kepada warga agar memilah sampah mulai dari sumbernya," tegasnya. Seharusnya Pemkot terus mengampanyekan program 3R, yakni mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaurulang (recycling). Selain itu juga pengomposan sebagai alat yang kongkrit untuk menghemat energi dan menghindari emisi gas rumah kaca," pungkasnya. Klimaks dari aksi yang digalang Aliansi Rakyat Tolak Pemaksaan Pabrik Sampah di Permukiman (ARTP2SP) yakni mereka mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Negeri Bandung. Meja hijau menurut Koordinator ARTP2SP adalah pilihan terakhir setelah berbagai upaya dilakukan oleh mereka dari mulai menyambangi kantor Pemkota Bandung untuk meminta dialog dengan Walikota menemui jalan buntu, termasuk mendatangi wakil rakyat DPRD Kota Bandung yang tidak menemui hasil yang memuaskan. "Kami membutuhkan dialog, bukannya tekanan dari Pemkot." tegas Tabroni. Namun dipihak Pemkot Bandung, ketika KPS menemui salah seorang pejabat Bappeda Kota Bandung. Pejabat tersebut mengungkapkan, bagi Pemkot Bandung sendiri sebenarnya kasus PLTSa ini boleh dikatakan hal yang masih baru dilakoni. Dan Pemkot sudah berupaya mensosialisasikan kepada warga di sekitar PLTSa, walaupun diakui oleh pejabat Pemkot tersebut, sosialisasi yang dilakukan belumlah optimal. Sehingga masih memunculkan penolakan yang dilakukan oleh warga. Pihak Pemkot juga sedang mencari alternatif solusi lain, yaitu kalau warga merasa keberatan, maka mereka bisa direlokasi. Memang agak sulit mencari lahan yang cukup luas untuk PLTSa, karena luas Kota Bandung hanya 167 km2 luasnya, Gedebage merupakan daerah pemekaran yang masih memiliki lahan yang cukup luas, dan juga menurut perencanaan kota, Gedebage akan dikembangkan, agar tidak ketinggalan dengan wilayah lain di Kota Bandung. Rencana pembangunan PLTSa ini ternyata mendapat dukungan psikologis dari Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman. Menristek menyatakan dukungannya saat mencanangkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage di Lapangan Tegalega Bandung. Ketika itu Menristek mengatakan, kalau masyarakat sekitar tidak perlu khawatir terhadap dampak atau risiko yang dihasilkan PLTSa ini. "Sebab seluruh risiko pencemaran semestinya sudah diminimalisir sehingga apa yang dihasilkan kelak akan berguna bagi masyarakat," ujamya. Menristek juga memberi solusi, jika ada risiko pencemaran dari pembakaran, maka janganlah ada pembakaran tetapi semua sampah yang didapat harus di "reuse", "reduce" dan "recycle"," katanya. Kusmayanto mencontohkan jika ada sampah botol maka gunakan kembali untuk botol atau barang-barang lainnya yang dapat didaur ulang hingga akhirnya dapat menjadi sebuah barang tertentu. "Yang terpenting adalah pemilahan barang harus dilakukan sebelum dilakukan pemrosesan sampah," tegasnya. la juga menegaskan semua pihak harus ikut bertanggungjawab atas semua risiko yang akan terjadi. "Kita semua harus bertanggungjawab, saya, wartawan, akademisi, LSM, Pemda dan masyarakat yang mendukung," ujarnya. Kusmayanto menuturkan Pemerintah Pusat sejauh mi telah memberikan masukan kepada Pemkot Bandung terkait sistem apa saja yang layak digunakan bagi sebuah PLTSa, tetapi tetap pihak Pemda yang akan menjadi operatornya. Sedangkan mengenai penelitian analisis dampak lingkungannya (amdal) Dr. Ari Darmawan Pasek Ketua Pusat Rekayasa Industri ITB, mengungkapkan bahwa studi kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan di bangun di daerah Gedebage sudah selesai. Dalam studi kelayakan PLTSa ini, ITB tidak menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Menurut Dosen Teknik Mesin ITB ini, PLTSa semacam ini sudah dikerjakan cukup lama kalau di luar negeri, terutama Eropa dan RRC. Teknologi ini adalah pilihan utama dalam mengatasi sampah. Ari juga menambahkan, kalau di RRC sudah memiliki 50 PLTSa yang masing-masing hanya berjarak ratusan meter dari perumahan penduduk. Memang PLTSa atau Waste to (WTE) dapat menghasilkan polusi yang bahkan 2500 kali lebih bersih dari asap sebatang rokok. "Semuanya memang masalah dana. Dengan dana yang cukup, kita bisa membuat PLTSa ini menjadi sangat bersih," katanya, ”Lewat studi kelayakan ini pula, ITB memberikan opsi-opsi teknologi yang mengkompromikan antara dana dengan tingkat polusi." Bau sampah adalah Salah satu risiko yang sangat diperhatikan tim studi kelayakan pimpinan Ari. Untuk mengatasi itu, ITB keluar dengan pilihan solusi truk dan desain PLTSa yang menjamin tidak akan ada bau busuk sampai ke hidung warga. Truk sampah yang didesain khusus akan melewati Tol Padaleunyi. "Truk tidak akan melewati daerah perumahan warga," kata Ari. Dalam aspek ekonomi, PLTSa ini pun tampak sangat menjanjikan akan menjadi generator ekonomi wilayah Gedebage. "Pembangunan PLTSa akan membuat Pemerintah Kota (Pemkot) membangun akses keluar Tol Padaleunyi di Gedebage," kata Ari, "Jelas ini akan justru meningkatkan harga tanah." Selain itu, menurut rencana, dari 60 hektar lahan yang dibebaskan, hanya 10 hektar yang diperlukan untuk membangun PLTSa. Sisanya akan dibangun pusat komersil serta Sarana Olah Raga. Termasuk di dalam rencana adalah pembangunan Stadion Sepak Bola yang baru. "Kegiatan ekonomi justru akan terpacu," kata Ari. Hanya Ari menyayangkan pihak Pemkot Bandung tidak melakukan sosialisasi PLTSa ini ke masyarakat dengan baik. Jika PLTSa Gedebage dapat beroperasi, maka dengan asumsi kapasitas sampah yang diolah sebanyak 500 ton per hari dengan modal awal sekitar Rp 320 milyar. Maka berdasarkan perhitungan, modal ini baru bisa kembali sembilan hingga 10 tahun pasca-beroperasinya pembangkit Listrik. Dari 500 ton sampah yang diolah PLTSa Gedebage akan menghasilkan hampir 20 mega Watt. Namun untuk tahap awal, mereka mentarget hanya 10 MW. PLTSa Babakan Kab. Bandung PLTSa yang akan dibangun di Gedebage sebenarnya bukanlah yang pertama jika dibandingkan dengan PLTSa yang tengah dibangun di tempat pembuangan akhir (TPA) Babakan di Desa Babakan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kawasan kumuh yang selama ini luput dari perhatian ini mencatatkan diri sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pertama di Indonesia, jika proyek percontohannya bersama ITB itu berhasil. Pembangunan PLTSa Babakan sejak akhir Oktober lalu itu terwujud atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Bandung, PT PLN (Persero) serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB Bandung. PLN menggelontorkan dana sekitar Rp 9,5 milyar. Sedangkan LPPM ITB bertanggung jawab dalam mendesain sistem dan teknologinya. Bila pembangunan sesuai jadwal, PLTSa Babakan bakal mulai beroperasi pada akhir tahun 2008. Kapasitas listrik yang dihasilkan sebesar 500 KW per hari. Memang, jumlah ini boleh dibilang terlalu kecil dibandingkan rencana PLTSa Gedebage. Untuk PLTSa Babakan sendiri, volume sampah yang akan dimanfaatkan baru sekitar 30 hingga 50 ton per hari. Sedangkan total sampah yang dibuang ke TPA Babakan sebanyak 150 ton per hari. Rencananya, sisa sampah yang 100 ton akan digunakan untuk proyek pengomposan bekerjasama dengan sebuah perusahaan energi swasta. Nah sekarang, bagaimana mengkolaborasikan cerita sukses warga di sekitar PLTSa Cempaka Arum yang memisahkan sampah organik dengan non-organik kemudian dijadikan kompos, serta keinginan Pemkot Bandung membangun PLTSa di Gedebage. Semua keputusan diserahkan kepada Pemkot Bandung, namun seharusnya mengedepankan dialog interaktif dengan semua pemangku kepentingan, sehingga tidak ada rasa saling curiga antara warga dan Pemkot Bandung.(*) Post Date : 30 September 2008 |