|
Sebanyak 870 anggota masyarakat mendaftarkan permohonan peninjauan kembali UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 di Mahkamah Konstitusi. ''Sebagian besar adalah petani yang menggantungkan hidup dari sumber air, diwakili oleh kuasa hukumnya," kata pengampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Radja Siregar, di Jakarta, kemarin, seperti dikutip Antara. Pada 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan Rancangan UU Sumber Daya Air menjadi undang-undang baru yang menggantikan UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Beberapa kali pengesahan UU SDA tertunda karena meluasnya penolakan dari petani, konsumen kota, organisasi keagamaan dan masyarakat, LSM, dan akademisi. Sebelumnya pada tanggal 1 Juli lalu, sebanyak 16 lembaga dari berbagai sektor dan daerah mengajukan gugatan atas UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi. Pengajuan gugatan legal standing atau atas nama lembaga ini di antaranya diajukan oleh Walhi, PBHI, UPC, Federasi Serikat Petani Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan lainnya. Dugaan kuat, ujar Radja, adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air dalam UU ini menjadi dasar penolakan masyarakat di mana terdapat pasal-pasal yang memberikan peluang pengelolaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air kepada swasta, dan tidak dibatasi nasional maupun asing. Dengan demikian privatisasi tidak sebatas penyerahan penyediaan air minum, namun juga pengelolaan air untuk berbagai kepentingan, khususnya irigasi pertanian, energi, dan industri. Sebuah UU yang mengatur pengelolaan air lebih terpadu, memerhatikan fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaatan air, memang sangat dibutuhkan, namun, justru UU air yang baru ini lebih didominasi kepentingan ekonomis. Pengaruh Bank Dunia, ujar Radja, ikut menentukan substansi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh undang-undang ini. Kehadiran Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan bagian dari persyaratan pinjaman Bank Dunia untuk program Watsal (Water Resources Sector Adjustment Loan) sebesar US$300 juta yang ditandatangani pada April 1998. Sejak 1998 sebuah Tim yang terdiri atas unsur Bank Dunia, Bappenas, dan Departemen Kimpraswil menyusun kerangka kebijakan pengelolaan air yang baru. "Sejak awal Bank Dunia telah menyatakan lembaga tersebut tidak akan memberikan pinjaman baru apabila kebijakan pengelolaan air, khususnya untuk irigasi pertanian, tidak diubah," katanya. Syarat pencairan ketiga pinjaman Watsal adalah diterbitkannya undang-undang pengelolaan SD Air yang baru dan karena batas waktu kontrak program Watsal berakhir pada Desember 2003, maka undang-undang ini didesak oleh pemerintah dan Bank Dunia untuk disahkan sebelum Desember 2003. Dikatakannya, UU itu juga memberi ruang yang luas bagi swasta untuk menguasai sumber-sumber air seperti air tanah, segala bentuk air permukaan, dan sebagian badan sungai. Instrumen hak guna dalam pasal 7,8,9, dan 10 menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumber-sumber air kepada swasta (individu dan badan usaha). "Kita dapat membayangkan hak guna usaha air ini bagaikan pengaplingan sumber air oleh pemodal layaknya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sektor kehutanan," katanya. Dengan pengaturan izin hak guna usaha, swasta memiliki peluang untuk menguasai sumber-sumber air milik bersama masyarakat. (V-1) Post Date : 29 Juli 2004 |