|
MUSIM kemarau mulai bergulir di Nusa Tenggara Timur, termasuk di Sumba Timur. Persoalan air minum atau air bersih menjadi kekhawatiran tersendiri di kalangan warga di permukiman Transmigrasi Lokal (Translok) Kuruwaki yang terletak sekitar 130 kilometer di pedalaman Sumba Timur, tepatnya di Pahunga Lodu. Ternyata tidak hanya soal transportasi atau soal tidak tersedianya sekolah dan rumah ibadah di permukiman, dan sulitnya akses ke pasar, tetapi air bersih juga menjadi persoalan yang selalu dihadapi transmigran Kuruwaki. Warga permukiman yang kini hanya dihuni sekitar 290 keluarga itu selalu kesulitan air bersih dalam tiga tahun terakhir ini. Sebenarnya, sejak awal pembangunannya, pemerintah daerah setempat telah menyediakan sarana air bersih dengan jaringan air leding (pipa air) dari mata air Mangga Luang yang terletak sekitar tujuh kilometer dari permukiman. Pada awalnya air mengalir lancar tanpa masalah. Bersamaan dengan pembangunan jaringan pipa air itu, proyek translok juga membangun 40-50 bak penampung, atau satu bak penampung untuk 10 keluarga/rumah. Setiap bak penampung terdiri atas tiga sampai empat cerat pancuran atau keran pembagi (stop keran). Akan tetapi, menurut warga di Translok Kuruwaki, air itu hanya mengalir lancar selama kurang lebih satu tahun. Selama tiga tahun terakhir ini air macet. "Kami sudah sering kali memperbaiki sendiri, tetapi rusak kembali karena kami sebenarnya tidak terampil menyambung pipa," kata Agus Kiharaji, seorang transmigran. Menurut warga, mereka sudah berkali-kali menyampaikan masalah ini ke pemerintah kecamatan dan kabupaten, tetapi tak ada jawaban. Pipa selalu patah atau rusak karena tidak ditanam ke dalam tanah, tetapi digantung di pohon atau dahan-dahan kayu di lereng-lereng bukit. "Jika ada pohon yang tumbang, dahan yang patah, atau tanah longsor, maka pipa air patah. Kejadian ini selalu berulang. Kami menilai pekerjaan proyek dulu asal jadi. Jika mereka ahli menangani permukiman transmigran, semestinya pipa itu dibenamkan di tanah, bukan digantung di pohon," kata Yacobus M Kolo, transmigran. SEBENARNYA, seperti dituturkan Hamba Hoi, Yacobus M Kolo, Agus Kiharaji, dan beberapa warga lain, tidak hanya masalah pipa yang rusak. Bak penampung di mata air pun telah rusak atau jebol. Untuk mengatasi kesulitan air minum ini, warga transmigran berusaha menggali sumur. Mereka mengeluarkan ongkos sekitar Rp 2,5 juta per satu sumur. Untuk mendapat air yang jernih dan baik, sumur harus digali sedalam paling kurang 10 meter, seperti dialami warga di Blok D. Frederik E Ndjuka, Sekretaris Desa Kuruwaki, mengakui, warga transmigran ini amat menderita jika berurusan dengan air. Pada setiap musim kemarau, terutama sekitar Juni-November, air sumur acapkali kering. Warga terpaksa pontang-panting mencari air. Menurut Frederik, sebenarnya kesulitan air minum atau air bersih inilah yang menjadi faktor utama pendorong warga transmigran meninggalkan permukiman. Padahal, kalau air lancar, warga dapat menanam berbagai jenis sayur-mayur di pekarangan, seperti kol, kacang panjang atau kacang polong, atau menanam singkong. Bupati Sumba Timur Umbu Mehang Kunda mengakui kalau air leding di Kuruwaki rusak. Tetapi, dia dengan cepat juga menjelaskan, warga sudah tidak kesulitan air minum lagi karena secara swadaya membuat sumur. (CAL) Post Date : 13 Mei 2004 |