|
Sumedang, Kompas - Sejak lima tahun lalu masyarakat di kawasan sekitar Gunung Geulis dan Gunung Karambi kekurangan air. Kesulitan paling berat dirasakan oleh para petani, khususnya para petani ubi cilembu di Kabupaten Sumedang. "Kurangnya jumlah pasokan air dikhawatirkan dapat menyebabkan para petani tidak dapat mengejar produksi tebu yang memadai untuk memenuhi permintaan pasar," kata AS Hadie Guna, Ketua Asosiasi Petani Ubi Cilembu (APUC) di kediamannya di Desa Cilembu, Sumedang, Minggu (17/10). Padahal, lanjut Hadie, mulai Oktober ini ubi cilembu tidak hanya dijual di pasar lokal, tetapi juga mulai diekspor ke Jepang sebanyak 10-15 ton setiap dua minggu. Kemungkinan permintaan ubi dari Singapura, Malaysia, dan Vietnam juga akan semakin terbuka. Solusi yang direncanakan untuk mengatasi masalah sekarang ini adalah bekerja sama dengan daerah-daerah lain yang memiliki agroclimate yang mirip dengan daerah Cilembu. Kemiripan agroclimate diharapkan bisa menghasilkan ubi yang kualitasnya sama dengan ubi dari Cilembu. Namun, kata Hadie, sampai kini belum dapat ditetapkan daerah mana saja yang memiliki kemiripan tersebut karena masih dalam penelitian. Sambil menunggu penelitian selesai dan menentukan daerah yang bisa bekerja sama dengan petani ubi Cilembu, APUC juga tengah melakukan penangkaran pohon ekaliptus atau kayu putih yang dapat meningkatkan persediaan air di bawah tanah. Nantinya, kayu putih ini akan dibagikan kepada masyarakat sekitar Gunung Geulis dan Karambi agar mereka menanamnya di sekitar rumah dan gunung. "Gerakan penghijauan ini lebih efektif kalau melibatkan warga. Hal ini juga untuk menyadarkan masyarakat setempat betapa pentingnya gunung yang hijau untuk kelangsungan hidup mereka, terutama masalah ketersediaan air," kata Hadie. Tampak gundul Nantinya setelah kayu putih diserahkan, APUC tetap akan melakukan pengawasan agar penghijauan tetap berjalan. Dari arah Parakan Muncang, Cicalengka, hampir seluruh Gunung Geulis tampak gundul. Hanya tanah merah yang terlihat dan beberapa tumbuhan kecil saja. Sementara itu, tidak seluruh areal di Gunung Karambi gundul. Menurut Hadie, gundulnya gunung tersebut karena dimanfaatkan oleh masyarakat juga. Namun, hal tersebut dilakukan karena mereka belum menyadari efeknya di masa datang. Selain menebang kayu pinus di gunung-gunung, masyarakat juga membuka lahan pertanian. Hadie memilih kayu putih untuk ditangkar berdasarkan pengamatannya di wilayah Cijambu, Nagrak, dan Tanjungsari Barat. Wilayah-wilayah tersebut berada di Sumedang. Di sana, meski musim kemarau, pohon kayu putih tetap tumbuh subur, begitupun dengan penampilan fisik tanahnya yang tetap gembur. "Dua hal itu mengindikasikan bahwa di bawahnya terdapat persediaan air yang mencukupi dan pohon kayu putih ini membantu produksi air yang memadai di dalam tanah," kata Hadie. Selain itu, jika yang ditanam ekaliptus, masyarakat tidak perlu menebang pohonnya, namun cukup memanfaatkan daunnya yang bisa disuling dan diproduksi menjadi minyak kayu putih. Dari satu kilogram bibit pohon kayu putih dihasilkan 500.00 pohon. Pohon kayu putih yang telah ditangkar selama empat bulan ini siap ditanam dan diserahkan setelah lima bulan. Saat itu pohon cukup memadai untuk ditanam di areal bebas. Penyerahannya direncanakan dilaksanakan pada bulan November mendatang. Pohon lainnya yang tengah ditangkar adalah surian. Pohon ini berbatang kecil dan daunnya tidak bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa pun, termasuk makanan ternak, sehingga diharapkan dapat awet di hutan. Pohon surian memiliki sifat yang sama dengan kayu putih, yaitu bisa meningkatkan produksi air di bawah tanah. Masa penangkaran hingga dilepas di areal pegunungan adalah lima bulan. Pohon ini juga akan diserahkan bersamaan dengan kayu putih pada masyarakat di sekitar Gunung Geulis dan Karambi. (Y09) Post Date : 18 Oktober 2004 |