Petani Begadang Menunggu Air

Sumber:Suara Pembaruan - 02 Juni 2008
Kategori:Air Minum

[PURWOKERTO] Para petani di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, seperti Baturraden, Purwokerto Selatan, Kedungbanteng, Purwokerto Barat, Karanglewas, dan Cilongok yang tersebar pada 100 desa, sejak sepekan terakhir ini harus begadang menunggu saluran air yang sudah mulai dijadwal penyaluran airnya ke sawah petani.

Petani di Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Risyad Atmono (57), Minggu (1/6) malam menjelaskan, sejak sepekan terakhir harus begadang, karena sawahnya mendapat giliran jatah air pada malam hari.

"Sejak Rabu hingga Minggu malam ini, saya harus berjaga pada malam hari. Mulai Senin (2/6), sawah saya seluas 0,5 hektare (ha) baru akan mendapat giliran jatah air pada siang hari. Jadi, tak perlu begadang lagi," katanya.

Memiliki sawah dekat perkotaan risikonya adalah airnya sudah tercemar limbah rumah tangga dan pertokoan berupa limbah air cucian. Berbeda dengan air di Baturraden, lebih bersih tidak terkena limbah.

"Saya sudah sepuluh hari lebih, terus begadang, karena belum mendapat giliran air pada pagi atau siang hari," kata Warsam Menggala (40) warga Desa Karangsalam, Kecamatan Baturraden .

Kasus rebutan air juga mulai terjadi di beberapa tempat. Walaupun tidak sampai menimbulkan korban luka atau meninggal, tapi cukup merepotkan aparat keamanan desa. Karena biasanya rebutan air itu terjadi pada malam hari.

"Untuk menghindari terjadinya rebutan air, petugas keamanan desa kini patroli ke tempat-tempat saluran air yang rawan. Saat ini di desa kami masih aman-aman saja," ujar Kepala Desa Karangmangu, Kecamatan Baturraden, Darkim Notosuwito.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas Joko Wikanto menjelaskan, kasus rebutan air bisa terjadi kalau petugas perairan (ulu-ulu) desa, tidak pandai membuat jadwal pembagian air secara adil dan merata, terutama pada sawah yang beririgasi teknis, tapi debit airnya sudah terbatas.

Pada sawah tadah hujan, rebutan air tidak terjadi karena tak ada yang diperebutkan. Petani di sawah tadah hujan ini biasanya menggunakan pompa air untuk menyedot air sungai yang letaknya lebih rendah dari sawah.

Pada musim tanam kedua tahun 2008, di Banyumas terdapat 10.614,66 ha sawah. Dengan perincian, sawah dengan irigasi teknis seluas 7.527 ha, irigasi semi teknis seluas 1.394 ha, irigasi sederhana 596,2 ha, tadah hujan 1.097,46 ha.

Pada musim kemarau ini, para petani sudah mulai memanfaatkan pompa air untuk menyedot air dan membuat sumur pantek.

Kekurangan

Memasuki musim kemarau, warga di 16 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Sejak satu minggu terakhir, puluhan armada air milik swasta mulai beroperasi dan menawarkan air bersih dengan harga yang relatif tinggi.

Menurut warga Panggang, Gunungkidul, Saptoto (32), harga air yang ditawarkan, bervariasi sesuai dengan jarak tempuh armada. Har- ganya Rp 120.000 hingga Rp 200.000 per 5.000 liter.

Harga air untuk kebutuhan warga di beberapa daerah lokasi kekeringan di Gunungkidul mengalami naik sekitar 43 persen. Di wilayah Kecamatan Gedangsari, dari Rp 170.000 per tangki berisi 5.000 liter, naik menjadi Rp 220.000 per tangki.

Salah satu pedagang air, Ari (27), mengatakan, kenaikan harga air tersebut mengikuti kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga air bervariasi mengikuti kondisi geografis wilayah, terutama desa terisolir seperti di Kecamatan Gedangdari, yakni Boyo dan Manggang.

Untuk daerah perbatasan Gunungkidul - Klaten tersebut, harga air satu tangki mencapai Rp 250.000. Untuk Kecamatan Nglipar dari harga Rp 120.000, menjadi Rp 175.000.

Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Cb Supriyanto memastikan hingga saat ini belum ada permohonan dropping air. "Kami siap melakukan dropping jika ada perimintaan. Armada sudah siap di sejumlah kecamatan," katanya.

Sekretaris Camat Nglipar, Yudha mengatakan, bagi yang mampu membeli air, memang bisa hidup dengan air bersih, sedang bagi warga miskin, lebih banyak memanfaatkan air danau yang mulai keruh dan menyusut.

Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kecamatan Tanjungsari, Bekti Rahardjo menjelaskan, lima desa di wilayahnya, tergolong desa minus dengan jumlah 6.870 keluarga (14.320 jiwa). Sejak awal Mei lalu, masyarakat di Tanjungsari sudah mengeluhkan susahnya air bersih, namun karena belum ada dropping air bersih. [WMO/152]



Post Date : 02 Juni 2008