|
JAKARTA (Media): Ganti rugi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan TPS (tempat pembuangan sampah) Cilincing, Jakarta Utara, dinilai hanya cukup untuk menguras tambak. Padahal, petani butuh modal untuk bibit, pakan dan pupuk. "Di amplopnya memang tertulis ganti rugi untuk benih, pupuk dan pakan, tetapi sebenarnya hanya cukup untuk menguras tambak," kata Ketua Petambak Cilincing Edi Zubaedy di Jakarta sebagaimana dikutip Antara, kemarin. Pada Jumat (12/3), sebanyak 26 petambak kelompok Cilincing dan 64 petambak kelompok Marunda mendapat ganti rugi berkisar Rp2 juta hingga Rp2,5 juta per hektare dari Suku Dinas Pertanian Jakarta Utara. Namun, kelompok Cilincing mempertanyakan ganti rugi tersebut karena selama ini hanya mereka yang mengeluhkan pencemaran termasuk beraudiensi ke Kantor Menteri Lingkungan Hidup dan DPRD DKI Jakarta. Para petambak Cilincing beberapa waktu lalu mengajukan ganti rugi total Rp774 juta, namun Pemprov DKI hanya memberikan Rp217 juta, itu pun untuk 90 petambak yaitu di Cilincing dan Marunda. Edi mengaku tidak tahu patokan Suku Dinas Perikanan Jakarta Utara dalam menghitung ganti rugi. Sebab, data suku dinas jauh berbeda dari apa yang disebutkan Edi saat mengisi formulir. "Benih udang ditulis 10 ribu, benih bandung dua ribu ditambah 90 kilogram pupuk, padahal untuk 2,5 hektare empang, saya tebar 120 ribu benih udang dan lima ribu benih bandeng, lalu 90 kilogram pupuk itu kan hanya cukup untuk 1,5 hektare," kata Edi lalu sambil menambahkan satu bibit udang seharga Rp53 dan satu bibit Bandeng Rp200. Edi yang menerima ganti rugi Rp3,48 juta itu mengaku kurang puas. Meski begitu ia dan rekannya yang sudah menganggur 2,5 bulan, segera menggunakan uang itu untuk mulai bertambak kembali. "Sehari setelah terima uang, kami sudah mulai menguras, beberapa teman sudah menyewa pompa. Pengurasan paling sedikit dilakukan dua kali. Setelah itu dilanjutkan pemberian obat pembunuh belut," ujarnya. Menurut Edi, para petambak hanya menanam bandeng dan mujair untuk melihat apakah air tambak sudah tidak tercemar, setelah itu dilanjutkan menebar benih udang. "Sebenarnya kami takut karena tanggul TPS terbuat dari tanah, kalau hujan besar takut jebol sehingga air lindinya masuk lagi ke tambak," kata Edi. Dia mengaku tidak mendapat keterangan bagaimana kelanjutan lahan TPS di sebelah tambak. Karena itu, mereka khawatir jika sewaktu-waktu tempat tersebut kembali menjadi pembuangan sampah. "Sedikit yang melegakan, Kepala Sudin Perikanan Jakarta Utara menyatakan ingin jadi pembina kami, selain itu kami diperbolehkan tetap bertambak di sana," kata Edi. Sebelumnya, para petambak Cilincing tersebut nyaris kelaparan akibat tidak punya penghasilan sejak lahan mereka tercemar air lindi TPS Cilincing. Pencemaran ini memaksa Pemprov DKI Jakarta mengerahkan alat berat seperti buldozer dan back hoe untuk memindahkan sampah tersebut ke Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang dan mengangkut air lindi ke truk tangki untuk dibawa ke IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Pemprov DKI Jakarta mengaku TPS Cilincing tidak memiliki studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) karena pembuangan sampah secara open dumping di Cilincing terpaksa dilakukan akibat TPA Bantar Gebang sebelumnya tidak beroperasi. Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengemukakan saat puncak darurat sampah terdapat 765 rit truk sampah yang mengangkut lebih dari 5.000 ton sampah per hari. (J-3) Post Date : 15 Maret 2004 |