|
JAKARTA (Media): Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai tidak konsisten dalam menangani proses pengangkutan sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Babek Rorotan, Cililincing, Jakarta Utara. Akibatnya, pencemaran lingkungan yang terjadi sejak Desember 2003 lalu masih dirasakan warga sekitar. Selain itu, masyarakat di sekitar TPA Babek Rorotan mengaku belum diberikan ganti rugi seperti yang dijanjikan Pemprov DKI. Hal itu diungkapkan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan, kemarin, di Jakarta, usai pertemuan tertutup yang dilakukan antara wakil Pemprov DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dan warga di sekitar lokasi yang merasa dirugikan. Dalam pertemuan itu belum ada titik temu antara Pemprov DKI Jakarta dan warga mengenai masalah pengangkutan sampah dan ganti rugi. Menurut Azas, pertemuan semacam ini yang kedua kalinya dilakukan setelah 9 Februari lalu, di tempat yang sama. "Dalam rapat dua minggu lalu itu disepakati harus ada focal point (titik temu) mengenai pengangkutan sampah dan ganti rugi. Tetapi, dalam pertemuan tadi, Amir Sagala (Kepala Unit Pelayanan Teknis-Tempat Pembuangan Akhir/TPA, Dinas Kesehatan DKI Jakarta) menolak memberikan ganti rugi dan mengangkut sampah." Padahal, menurut Azas, Gubernur DKI Sutiyoso sebelumnya telah menjanjikan segera mengangkut sampah tersebut dan memberikan ganti rugi kepada 26 petambak udang Cilincing sebesar Rp774 juta. Karena itu, Azas meminta agar Amir dan Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Selamat Limbong untuk dicopot dari jabatannya. Sebab, hingga kini sampah yang telah menggunung di Cilincing tersebut belum juga diangkut. Namun, salah seorang pemilik tambak udang Asmawi mengungkapkan, ia memang melihat adanya pengangkutan sampah dari TPA Babek Rorotan itu. Menurutnya, dalam sehari sampah-sampah itu diangkut oleh sekitar 5-6 truk Fuso. "Kalau dulu tingginya sampah 10 meter, sekarang tinggal 6 meter." Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi ketegangan karena Sagala justru mempermasalahkan status kepemilikan lahan tambak yang ada di sekitar TPA tersebut. Ia mempertanyakan, apakah tambak-tambak yang ada di sana sesuai dengan rencana umum tata ruang kota DKI Jakarta. Ia juga mempertanyakan mengapa di tempat tersebut tidak boleh dibuat TPA. Bahkan, menurut Sagala, TPA Babek Rorotan harus tetap ada, namun perlu dilakukan upaya mengatasi masalah pencemaran. Sementara Azas menyebutkan, berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2004, daerah yang diperuntukkan sebagai TPA hanya ada di Jonggol, Jawa Barat. Bahkan Azas menilai, apabila sampah DKI dibuang ke TPA Bantar Gebang, Bekasi, hal itu merupakan perbuatan ilegal. Namun, usai pertemuan tersebut, Sagala enggan memberikan keterangan kepada wartawan. Menurutnya, dia harus melakukan rapat internal Pemprov DKI dengan instansi terkait untuk memutuskan mengenai pencemaran TPA Rorotan Babek, pada pukul 13.00 WIB, kemarin. Sementara Deputi V Menteri LH/Bidang Pengendalian Lingkungan Sumber Non Institusi Tanwir Yazid Mukawi menyebutkan, hasil pemantauan lapangan dan analisis sampel terhadap TPA Rorotan Babek menyebutkan bahwa daerah tersebut telah tercemar. Hal itu setelah Tim Asdep 2/V KLH dan Pusarpedal yang melakukan penelitian dan pengambilan sampel pada 17-18 Januari lalu. Disebutkan, sampah dan air lindi (limbah cair) yang dibuang ke TPA seluas tiga hektare itu telah mencemari lima hektare tambak udang milik warga sekitar. Sampah itu juga telah mengubah peruntukan air di Kelurahan Rorotan, Cilincing, dari kelas III menjadi kelas IV, sehingga pembuangan sampah tersebut dapat dikategorikan sebagai pencemaran. "Sebaiknya gubernur konsisten saja dengan janjinya untuk membuang dan menyedot sampah, serta memberikan ganti rugi kepada warga," ucap Tanwir. Karena itu, menurut Tanwir, pada pukul 14.000 WIB, hari ini (26/1), Kementerian KLH akan melakukan rapat kerja (raker) dengan Komisi VIII DPR-RI untuk membahas masalah tersebut. (Nuz/J-4) Post Date : 26 Februari 2004 |