|
SEBAGIAN besar wilayah pesisir Jakarta diprediksi berada di bawah permukaan laut alias tenggelam pada 2025. Pengeksploitasian air tanah secara tak terkendali menjadi penyebab utama hal tersebut. Ancaman itu diungkapkan Ketua Regional Program Air dan Sanitasi Bank Dunia Almud Weitz dalam Reuters Environment Summit di Jakarta, kemarin. "Masyarakat menggali air semakin dalam sehingga kota ini secara perlahan tenggelam." Jakarta merupakan salah satu kota berpenduduk terpadat di Asia, namun menurut para ahli, ibu kota Indonesia ini justru memiliki jaringan pipa air paling minim. Perusahaan air minum baru mampu memenuhi kebutuhan 724.441 dan sekitar 1,6 juta pelanggan di DKI. Yang belum mendapatkan air bersih membuka sumur atau menyedot menggunakan mesin. Kondisinya semakin parah karena perumahan, gedung pusat perbelanjaan, maupun gedung-gedung pencakar langit juga menyedot air tanah. Hal itu pula, lanjut dia, yang menjadi alasan mengapa banjir pasang semakin sering melanda wilayah pesisir pantai. Berdasarkan sejumlah penelitian, Jakarta saat ini memeliki kekurangan air bersih sebesar 36 juta meter kubik per tahun. Bahkan, dari jumlah air yang ada pun, sebagian besar terkontaminasi tinja karena minimnya fasilitas septic tank. Dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta yang dikelilingi 13 aliran sungai dan kanal telah dilanda banjir besar yang dipicu oleh hujan tropis dan bertambahnya volume air laut. Konsultan Bank Dunia itu memprediksi, di tahun 2025 permukaan Jakarta setidaknya berada lebih rendah 60 cm dari yang ada sekarang. Sejumlah faktor penyebabnya adalah pertumbuhan populasi tinggi, area padat perumahan, pembangunan infrastruktur, serta pengurangan area hijau dan tangkapan air. Dalam beberapa tahun terakhir, air pasang di Jakarta Utara membanjiri Jalan Tol Sedyatmo yang merupakan akses utama ke dan dari Bandara Soekarno-Hatta. Kepala Dinas Pertambangan DKI Peni Susanti menyebutkan pencurian air tanah meningkat hampir empat kali lipat selama lima tahun terakhir. Dari 450 pengelola gedung pada 2002 melonjak menjadi 1.700 pengelola gedung pada 2007. Dua jenis pelanggaran utama dalam pemanfaatan air tanah adalah pencurian menggunakan sumur dalam dan penyedotan air tanah tanpa mengembalikan air kembali ke tanah. Ahli Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi mendukung pernyataan Weitz. Penurunan permukaan tanah di kota besar mencapai 0,87 cm per tahun. Ini berarti hingga 2025 terjadi penurunan permukaan tanah 14,79 meter (17 tahun x 0,87 cm). Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata naiknya permukaan air laut sebesar 0,5 cm per tahun sampai 2080 sebagai dampak fenomena global warming. Untuk mengantisipasi banjir tahunan yang semakin parah, menurut Armi, Pemprov DKI harus menyusun multistrategi termasuk melakukan pengerukan jaringan kanal yang sudah ada. Selain itu membangun Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur dengan anggaran US$560 juta atau Rp5,32 triliun dengan kurs Rp9.500 per US$. Sebagai antisipasi jangka pendek, Bank Dunia pada pertengahan September 2008 telah mencairkan dana pinjaman lunak Pemprov DKI sebesar Rp1,2 triliun untuk menormalisasi dan mengeruk 13 sungai. Sungai yang bakal dikeruk antara lain Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, dan Kali Cakung. "Dalam waktu dua atau tiga tahun ini, kami akan mengeruk semua kanal, merevitalisasi kanal, dan membuat kanal-kanal baru," ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Langkah pengerukan sungai, sesuai yang direncanakan, dapat mengurangi area banjir di Jakarta hingga 70%. Namun, daerah Jakarta Utara tetap akan terkena dampak banjir. "Pengerukan mungkin bisa mengembalikan siklus banjir Jakarta seperti dulu, 25 tahun sekali, tapi tetap harus ada tindakan segera untuk pengelolaan sampah," tegas ahli infrastruktur Bank Dunia Indonesia Risyana Sukarma. (Reuters/Bgz/J-1) Post Date : 08 Oktober 2008 |