Organisasi nonpemerintah Oxfam Internasional akhir April menyebutkan, ratusan juta warga dunia dalam enam tahun mendatang akan menjadi korban bencana terkait dengan perubahan iklim. Jumlah bencana iklim meningkat 54 persen, mengakibatkan 375 juta orang per tahun pada 2015 terkena dampaknya, dengan basis data tahun 1980.
Awal Mei, kota Jakarta oleh The International Development Research Center’s Economic and Environmental Program for Southeast Asia (IDRC- EEPSEA) dinyatakan sebagai kota paling rentan terhadap bencana perubahan iklim. Direktur EEPSEA Herminia Fransisco mengemukakan, bencana itu antara lain berupa banjir, kekeringan, kenaikan muka air laut, dan longsor. Kerentanan tinggi antara lain karena kepadatan penduduk yang demikian tinggi.
Sesuai dengan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), secara global saat ini terjadi kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata 0,74° C dalam satu abad. Dalam 20 tahun ke depan diperkirakan terjadi kenaikan suhu 0,2° C per dekade.
Upaya serius dunia ditandai oleh lahirnya Protokol Kyoto yang memuat kewajiban 37 negara industri untuk mengurangi emisi karbonnya rata-rata 5 persen dari emisi tahun 1990. Target ini nyaris semuanya tak tercapai. Pada Desember nanti, di Kopenhagen, Denmark, akan dibahas kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto—protokol ini berakhir masa berlakunya pada tahun 2012.
Namun, dalam pertemuan di Bonn, Jerman, pada Juni lalu, persoalan tetap berkutat pada pembagian beban pengurangan emisi. Juga belum ada titik cerah soal bantuan dana adaptasi dan mitigasi untuk negara miskin dan berkembang. Menurut perhitungan Oxfam yang baru-baru ini dipublikasikan, dibutuhkan investasi publik 150 triliun dollar AS (sekitar Rp 1,5 juta triliun) setiap tahun untuk memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi negara berkembang.
Di sisi lain, negara miskin selalu disalahkan karena emisi karbonnya tinggi. Indonesia tercatat menjadi emiter ketiga terbesar karena faktor gambut, dan menurut laporan Bank Pembangunan Asia (ADB), Indonesia emiter terbesar di Asia akibat perubahan fungsi lahan.
Sementara perubahan radikal terjadi di Amerika Serikat. Presiden Barack Obama yang diangkat pada Januari lalu dengan berani mengajukan rancangan undang-undang mengenai perubahan iklim dengan target pengurangan emisi 17 persen pada 2020 dari level emisi 2005 dan 83 persen pada 2050 melalui program cap-and-trade—membolehkan penggantian kelebihan emisi dengan sejumlah uang. Selain itu, AS juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan.
Banyak pihak memandang, keberhasilan COP-15 Kopenhagen bergantung pada undang-undang perubahan iklim AS (Security Act) tersebut. Namun, China tetap memegang peran penting untuk lahirnya kesepakatan baru karena China masuk dalam tiga besar emiter karbon terbesar di dunia.
”BAU” di Indonesia
Dalam isu perubahan iklim global ini, peran Indonesia di meja perundingan global cukup menonjol, antara lain dengan menjadi tuan rumah COP-13 Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) dan tuan rumah Konferensi Kelautan Dunia (WOC) serta nanti pada bulan Oktober menjadi tuan rumah pertemuan IPCC.
Terletak di ekuator, berupa kepulauan yang diapit dua lautan utama (Atlantik dan Pasifik), secara klimatologis posisi Indonesia penting karena ”motor” iklim dunia terletak di kawasan ini. Luasan hutan Indonesia masuk dalam empat besar dunia. Padahal, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink). Selain hutan, keanekaragaman terumbu karang Indonesia dan lima negara yang tergabung dalam Prakarsa Terumbu Karang (CTI) juga mencakup lebih dari 60 persen total dunia. Dengan alasan tersebut, dunia berkepentingan menjaga ekosistem Indonesia untuk mengerem laju pemanasan global, penyebab perubahan iklim.
Namun, Indonesia saat ini tidak memiliki dana untuk melakukan program mitigasi dan adaptasi serta tidak memiliki teknologi bersih. Untuk mengatasi dua persoalan krusial ini, dana dan teknologi, sejumlah langkah internal harus dilakukan. Pertama-tama harus segera disusun peta kerentanan—berbagai pihak terus mendesak, tetapi masih dijanjikan selesai menjelang COP-15 di Kopenhagen. Peta kerentanan ini mengandaikan telah ada tata ruang nasional secara rinci dengan dilengkapi antara lain data bencana, peta geografis, potensi ekonomi, dan sejarah iklim yang sahih dari daerah-daerah. Pengerahan data dari daerah, kalaupun ada, tidak terdengar nyata.
Sementara itu, masalah dana, Indonesia justru menambah utang sebesar 600 juta dollar AS berupa pinjaman lunak dari Jepang dan Perancis serta 10 juta poundsterling dari Inggris—dana hibah dengan konsentrasi program adaptasi (Kompas, 18/6). Dana-dana itu pun tidak bisa digunakan karena belum ada program adaptasi sektoral.
Ketika COP-13 di Bali dikatakan sukses dengan hasil Bali Road Map dan WOC dikatakan sukses dengan Manado Ocean Declaration (MOD), di dalam negeri secara ironis semuanya berjalan BAU (business as usual) alias biasa-biasa saja. Bahkan, untuk WOC pun nelayan tidak dilibatkan, sebaliknya dipinggirkan karena aksi damai mereka diredam. Peta kerentanan tak kunjung usai dibuat, apalagi program adaptasinya. Proyek percontohan adaptasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan tidak disebarluaskan. Langkah mitigasi tersendat, tak ada kejelasan arah. Penelitian tentang energi baru dan terbarukan yang sudah banyak dilakukan malah mentah di jalan. Contoh paling menyakitkan adalah gagalnya program jarak pagar. Cetak biru diversifikasi energi juga tidak jelas kelanjutannya.
Jika pemerintah terus sibuk membangun citra di panggung internasional dan meninggalkan rumahnya sendiri, bukan tidak mungkin negara ini akan bangkrut dalam beberapa dekade mendatang karena bencana akan datang secara simultan dan dalam skala yang mungkin tidak terbayangkan. Desember 2007 sebagian Jakarta utara terendam berhari-hari. Untuk perbaikan tanggul saja biayanya Rp 1,3 miliar, belum lagi kerugian nelayan akibat tidak melaut berhari-hari.
Contoh lain, pemerintah bukannya menambah mangrove atau bakau sebagai langkah adaptasi, sebaliknya justru menghancurkan bakau terpanjang di Asia—panjangnya 30 kilometer— yang akan dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api di Sumatera Selatan. (Kompas, 3/5/2007). Di Indonesia, bakau yang bagus saat ini tinggal 2,5 juta hektar, seharusnya 9,36 juta hektar (Kompas, 29/11/2007).
Perubahan iklim tidak sepantasnya dijadikan komoditas politik karena yang dipertaruhkan adalah masa depan manusia yang hidup di dalam ekosistem yang serba terbatas secara ruang. Tantangannya memang amat berat.
Negara industri jelas tidak akan melepas Indonesia sebagai pasar terbesarnya dan pengutang terbesar. Di sisi lain, investor akan terus mengincar sumber daya alam, padahal eksploitasinya akan menambah emisi karbon. Indonesia akan ”dipaksa” membeli teknologi bersih yang mahal, padahal sebenarnya local wisdom yang ada telah mampu mengatasi masalah lokal. Pada akhirnya kita akan terjerat pada utang (jenis) baru.
Menghadapi tantangan perubahan iklim, pekerjaan presiden mendatang memang tidak mudah. Dibutuhkan presiden yang tangguh, berani tidak populer di antara negara besar dan investor besar, dan memiliki jiwa altruistik—meminjam sebutan Mira Lesmana (Kompas, 30/6), yaitu presiden yang mementingkan dan mengutamakan orang lain, dalam hal ini rakyat, daripada dirinya sendiri. Itu semua demi menyelamatkan masa depan dari kebangkrutan dan bunuh diri ekologis. Siapa yang siap? Brigitta Isworo L
Post Date : 02 Juli 2009
|