|
Nusa Dua, Kompas Potensi konflik antarwilayah maupun negara akan semakin besar karena perubahan iklim global yang berakibat langsung pada berkurangnya sumber air dan bahan makanan akibat semakin meningkatnya suhu Bumi. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi konflik itu akan berujung pada aksi kekerasan, bahkan kemungkinan terjadinya perang baru. Peringatan ini dikeluarkan Program Lingkungan PBB (UNEP) berdasarkan laporan German Advisory Council on Global Change dan disampaikan di sela-sela Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, Senin (10/12). Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP, menyatakan, sejumlah kawasan paling rentan meliputi hampir seluruh wilayah Afrika, Sahel, dan daratan Mediterania. Masa-masa kritis akan terjadi pascatahun 2020 dan memuncak di akhir abad ini. Jika hal itu terjadi, ini akan menjadi episode terburuk bagi kehidupan manusia. Mau tidak mau, sebuah kebijakan menyangkut perubahan iklim global harus diambil dalam kurun waktu 10-15 tahun. Emisi gas rumah kaca harus berkurang 50 persen dibandingkan dengan acuan emisi karbon tahun 1990, sebelum semua ketakutan terjadi, kata Achim. Laporan German Advisory Council on Global Change disusun oleh akademik dan ilmuwan di Jerman dan Swiss. Dalam rangkuman laporannya, dinyatakan perubahan iklim hanyalah permulaan, tetapi efeknya akan terus terjadi dan lambat laun semakin besar skalanya. Bisa berdampak politis Akibat yang ditimbulkan, antara lain meliputi kekeringan panjang, kelangkaan air, dan degradasi tanah. Akibatnya, konstelasi politik dan hubungan internasional akan meningkat. Kenaikan permukaan air laut, badai, serta banjir akan mengancam sejumlah kota dan kawasan industri di sepanjang pantai China, India, dan Amerika Serikat. Konflik potensial juga terjadi sebagai akibat adanya migrasi besar-besaran warga yang ingin untuk menyelamatkan diri dengan menyeberang perbatasan. Pola atau sistem di Bumi bisa berubah mengakibatkan kerusakan dan kekeringan di hutan Amazon dan hilangnya hutan moonson Asia. Salju yang mencair di Pegunungan Himalaya, misalnya, akan mengakibatkan hilangnya sumber air. Ini jelas sebuah potensi konflik bagi warga maupun bangsa yang selama ini bergantung pada sumber air di kawasan itu, seperti Banglades, Pakistan, dan India, kata Hans Schellnhuber dari German Advisory Council on Global Change. Laporan juga menganalisis kemungkinan adanya sejumlah titik api (hotspots) atau daerah yang paling rentan menjadi tempat munculnya konflik, yakni daerah- daerah di Afrika Utara, kawasan Sahel meliputi Somalia, Chad, Niger, di mana akan menyebabkan satu juta orang mengungsi. Di kawasan Afrika Selatan, perubahan iklim akan memperlemah kekuatan ekonomi negara ini sehingga mengakibatkan lemahnya posisi politik negara itu terhadap kawasan lainnya. Afrika termasuk salah satu kawasan yang paling menderita. Kenya adalah salah satu contoh. Seperti yang terlihat dalam foto, tanah kering dan tandus sepanjang 2006. Sekitar 2,5 juta orang menderita kelaparan akibat kekeringan yang luar biasa sehingga pemerintah dibantu badan-badan internasional harus membagikan jatah pangan untuk menyelamatkan kehidupan mereka. Lembaga donor Oxfam meramalkan, perlu waktu 15 tahun bagi kawasan ini untuk pulih kembali. Di kawasan Asia Tengah, berkurangnya pasokan makanan akibat gagal panen akan memperparah kondisi sosial dan ekonomi sejumlah negara, seperti Tajikistan. Sementara di kawasan Asia Selatan, akibat paling parah akan terjadi pada tiga negara, yaitu India, Pakistan, dan Banglades. Ini tentu saja akan membahayakan warga yang tinggal terutama di daerah Teluk Bengal. Menurut Hans, kawasan Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina, juga dapat terkena dampak El Nino yang parah. Hal yang sama akan menimpa sejumlah daratan di Benua Australia. Pemerintah di masing-masing negara diimbau untuk memprioritaskan mitigasi dan adaptasi, khususnya warga yang tinggal di kawasan-kawasan paling rawan.Benny dwi Koestanto Post Date : 11 Desember 2007 |