|
Beberapa minggu terakhir ini publik banyak disuguhi berita akan diselenggarakannya Infrastructure Summit atau Pertemuan Puncak tentang Infrastruktur pada Januari 2005. Bagi para praktisi dan profesional yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, pertemuan puncak ini akan menerbitkan harapan kembalinya infrastruktur sebagai penggerak roda ekonomi Indonesia. Betapa tidak, setelah krisis ekonomi di akhir abad lalu, pembangunan infrastruktur di Indonesia praktis berjalan di tempat, bahkan cenderung mengalami kemunduran (seperti diperlihatkan dengan semakin menyusutnya panjang rel kereta api serta begitu rendahnya jumlah pembangunan jalan tol yang hanya 5 km per tahun). Dari data yang ada terlihat, porsi pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur cenderung semakin menurun, dari sekitar 5 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa sebelum krisis, hingga menjadi hanya sekitar 2 persen dari nilai PDB saat ini. Tampaknya pemerintahan mengikuti resep perbaikan sektor finansial perlu didahulukan, dengan harapan sektor riil termasuk infrastruktur dapat mengikuti kemudian. Namun kenyataan yang ada begitu berlainan, seperti dilansir oleh beberapa kajian dan studi, justru pada lima tahun mendatang Indonesia dihadapkan pada kenyataan terjadinya suatu krisis infrastruktur bila tidak segera diambil langkah-langkah nyata. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia, beberapa ahli ekonomi mengungkapkan bahwa sudah saatnya pemerintah melonggarkan anggaran bagi pembangunan infrastruktur. Hal ini dengan anggapan telah terjadi keleluasaan fiskal (fiscal space) dalam neraca keuangan pemerintah. Namun, terjadinya kesenjangan antara permintaan akan jasa infrastruktur dan ketersediaannya akan sulit diatasi bila hanya mengandalkan dana pemerintah. Diperkirakan, total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur kita kini mencapai lebih dari Rp 1.300 triliun dalam jangka lima tahun mendatang. Kemampuan pemerintah hanya menyediakan anggaran sekitar 17 persen dari APBN. Dari berbagai informasi mengenai Infrastructure Summit, tampaknya pemerintah saat ini tengah berupaya dapat mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan infrastruktur ke dalam kebijakan ekonomi makro secara nasional. Situs web panitia Infrastructure Summit (www.iisummit2005.com) memperlihatkan bahwa paling tidak terdapat lima hal yang akan diluncurkan pemerintah dalam mencanangkan pembangunan infrastruktur Indonesia. Pertama, keberadaan suatu "peta jalan" atau road map bagi pembangunan infrastruktur nasional dalam jangka waktu lima tahun (2005-2009). Ini dapat dianggap petunjuk arah kebijakan pembangunan infrastruktur Indonesia secara komprehensif dalam lima tahun mendatang. Kedua, guna menciptakan keseimbangan antara kepentingan pengguna infrastruktur, masyarakat luas, dan swasta, pemerintah memperkuat kerangka regulasi yang terkait. Kerangka itu peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri. Ketiga, khusus bagi proyek-proyek yang dapat menjadi suatu quasi public goods atau lebih jauh lagi mengarah menuju suatu commercial goods, maka pemerintah akan menawarkan penyelenggaraannya kepada masyarakat maupun swasta. Hal keempat, adanya forum yang akan dibentuk di antara para pemangku kepentingan yang disebut Forum Infrastruktur Indonesia. Forum ini sebagai wadah komunikasi di antara para pemangku kepentingan dalam pembangunan infrastruktur. Bambang Susantono,Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Post Date : 28 Desember 2004 |