KOPENHAGEN, KOMPAS - Konferensi Perubahan Iklim PBB yang merupakan pertemuan terbesar dan terpenting untuk isu perubahan iklim dibuka, Senin (7/12) di Kopenhagen, Denmark. Peserta konferensi, utusan dari 192 negara, dibayangi kemungkinan bahwa pertemuan historis tersebut akan menjadi kesempatan terbaik dan terakhir dalam upaya menjawab tantangan dampak katastrofik perubahan iklim.
Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) Connie Hedegaard mengatakan, kunci kesepakatan adalah menemukan cara pendanaan dari pemerintah dan perusahaan swasta untuk negara-negara miskin pada masa-masa mendatang.
Negosiasi antarnegara-negara yang terikat pada Kerangka Kerja Konvensi tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah berlangsung dua tahun terakhir.
Ia mengingatkan, jika pemerintah dari negara-negara di dunia tersebut melewatkan kesempatan di Kopenhagen, kesempatan sebaik itu mungkin tak akan ada lagi.
”Ini kesempatan kita. Jika kita melewatkan, perlu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan lagi dan yang lebih baik. Itu pun jika kita bisa,” ujarnya.
Saling menunggu
Posisi saling menunggu penurunan emisi gas rumah kaca oleh pihak lain muncul antara negara kaya seperti Uni Eropa dan negara ekonomi berkembang, terutama China dan India, tetapi isu utama tidak dibahas.
Para perunding dalam konferensi tersebut berupaya membuat kesepakatan, antara lain, soal pengurangan emisi gas rumah kaca dan pendanaan sebagai langkah mengurangi dampak perubahan iklim.
Perdana Menteri Denmark Lars Loekke Rasmussen mengatakan, ”Para perunding tidak dapat melakukannya sendirian. Tanggung jawab akhirnya ada pada masyarakat dunia, yang akan menjadi korban dari konsekuensi yang fatal jika kita gagal.”
Sementara itu, Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengingatkan pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca. ”Negara maju haruslah memimpin upaya itu,” kata Ketua IPCC Rajendra Kumar Pachauri. Namun, ia tidak menyebut tegas pentingnya negara maju mengeluarkan angka penurunan emisi dalam jumlah besar.
Ia mengingatkan, untuk mencegah kenaikan 2-2,4 derajat celsius suhu global, ongkos mitigasi pada tahun 2030 tidak kurang dari 3 persen produk domestik bruto global. ”Mitigasi membawa manfaat tidak hanya soal tingkat emisi, tetapi juga berasosiasi dengan kesehatan manusia, keamanan energi, dan stabilitas produksi pertanian,” katanya. (GSA/AP/ISW)
Post Date : 08 Desember 2009
|