|
Jakarta, Kompas - Tiga bulan setelah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007, pertemuan tindak lanjut Bali Road Map digelar di Bangkok, Thailand, 31 Maret-4 April 2008. Pertemuan itu menjadi langkah pertama menuju kerangka kerja baru pasca-Protokol Kyoto. ”Delegasi Indonesia akan memastikan target-target yang disepakati di Bali dipastikan dalam pertemuan itu,” kata Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman di Jakarta, Senin (31/3). Seperti di Bali, pertemuan yang dinamai UN Bangkok Climate Talks itu rencananya dihadiri ribuan anggota delegasi dari sekitar 190 negara. Diberitakan kantor berita Reuters, fokus utama pertemuan itu adalah menyepakati rencana kerja dua tahun mendatang (2009). Setelah Bangkok, para negosiator akan bertemu di Bonn, Jerman, bulan Juni 2008. Akhir tahun ini, pertemuan lanjutan akan digelar di Polandia. Secara simbolis, pertemuan Bangkok merupakan awal perjalanan mengarah keputusan baru pada 2009 di Denmark pasca-Protokol Kyoto—yang tahap pertamanya akan berakhir 2012. Pada pertemuan di Bangkok, setidaknya ada dua pokok payung pembahasan, yakni Kelompok Kerja Ad hoc (AWG) Kerja Sama Jangka Panjang di bawah Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) dan AWG Kerja Sama Jangka Panjang di bawah Skema Protokol Kyoto. Butir-butir pada payung pembahasan pertama di antaranya menyangkut transfer teknologi, pendanaan adaptasi, serta cara pengurangan emisi dalam jumlah signifikan, termasuk skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and degradation/REDD). Sementara pada payung AWG Protokol Kyoto, pembahasan lebih menekankan pada persoalan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). ”Negara-negara berkembang mendesakkan prosedur CDM yang lebih mudah, tidak rumit seperti sekarang,” kata Masnellyarti. Pasca-Protokol Kyoto Persoalan yang disepakati untuk diputuskan selambat-lambatnya akhir tahun 2009 adalah produk baru pasca-Protokol Kyoto. Bila lancar, pertengahan 2009 disepakati bentuk baru pengganti protokol yang mendorong pengurangan emisi karbon melalui peran negara maju itu. Kepastian pengganti Protokol Kyoto tiga tahun sebelum berakhirnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan negara-negara meratifikasi. Kekhawatiran utama, apakah waktu dua tahun cukup untuk mempersiapkan protokol baru itu. Selain persoalan pasca-Protokol Kyoto, pembicaraan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang menjadi perhatian global masih butuh jalan keluar yang adil di tingkat internasional terkait beban negara maju dan berkembang. Negara maju yang wajib mengurangi emisi karbon harus mengeluarkan ongkos besar, di antaranya untuk transfer teknologi. Sementara negara berkembang butuh banyak bantuan untuk pengembangan energi bersih dan adaptasi dampak perubahan iklim seperti kekeringan dan naiknya permukaan air laut. (Reuters/GSA) Post Date : 01 April 2008 |