|
[JAKARTA] Komitmen global terkait pelaksanaan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim diharapkan dapat diperkuat dalam penyelenggaraan 13th Conference of the Parties of the UN Framework Convention on Climate Change (COP-13) dan 3rd Meeting of Parties on Kyoto Protocol (MOP-3) di Nusa Dua, Bali, pada 3-14 Desember. Sejauh ini, pelaksanaan konvensi dirasakan sejumlah negara belum optimal. Sementara, Protokol Kyoto 1997 yang merupakan produk Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim akan habis masa berlakunya pada 2012. "Komitmen global untuk memperkuat pelaksanaan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim diharapkan disepakati dalam Pertemuan Bali. Dalam pertemuan itu, kebijakan-kebijakan pendekatan menuju tercapainya kesepakatan baru pasca-2012 akan disetujui," ungkap Direktur Lingkungan Hidup Departemen Luar Negeri, Dewi Savitri Wahab menjawab SP, Jumat (30/11). Diungkapkan, negara-negara berkembang sudah menyetujui perlunya kesepakatan baru tentang perubahan iklim pasca-2012. "Tetapi, kesepakatan itu ada dalam konteks second commitment period dari Protokol Kyoto, dengan asumsi Australia bersedia menandatangani Protokol Kyoto. Artinya, kini tinggal bagaimana agar AS mau bergabung dengan protokol tersebut," katanya. Persoalannya, lanjut Dewi, komunitas internasional sepenuhnya menyadari AS tidak akan mau bergabung sepanjang kesepakatan tersebut masih berupa Protokol Kyoto. Akibatnya, protokol belum bisa diratifikasi AS. Penolakan AS itu dilandasi pertimbangan bahwa kalau negara-negara berkembang tidak mau mengurangi emisi karbon, kenapa pemotongan karbon harus dilakukan negara-negara maju? "Di Bali, kesepakatan untuk meluncurkan suatu proses menuju tercapainya perjanjian baru pasca-2012 diharapkan bisa diraih. Baik negara maju maupun berkembang diharapkan dapat bekerja sama. Apakah perjanjian baru pasca-2012 itu nantinya tetap di bawah Protokol Kyoto atau tidak, akan dibahas dalam proses-proses perundingan ke depan," kata Dewi, yang akan menjadi salah satu anggota delegasi RI dalam COP 13. Negara-negara berkembang ingin agar proses-proses menuju tercapainya kesepakatan pasca-2012 dapat memperkuat pelaksanaan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim. "Sebab, apabila proses itu ditarik ke tingkat konvensi, maka AS bisa dibawa masuk ke situ. Sebab AS adalah bagian dari para pihak konvensi tersebut," ujar Dewi. Menurutnya, tidak ada keberatan dari negara-negara berkembang apabila perjanjian baru pasca-2012 itu bentuknya adalah Protokol Kyoto yang diamendemen, asal bisa mengatasi perubahan iklim. "Negara-negara berkembang cenderung menginginkan Protokol Kyoto yang diamendemen. Kita berharap tidak ada agreement yang baru sama sekali karena di Protokol Kyoto ada clean development mechanism (CDM) dan berbagai langkah lain yang diharapkan dapat mengatasi perubahan iklim. Begitu kita bikin agreement baru, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dengan inisiatif-inisiatif, seperti CDM dan yang lainnya," kata Dewi. REDD Menyinggung salah satu agenda Pertemuan Bali, yakni pembahasan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (reduced emissions from deforestation and degradation/REDD), Dewi menyatakan diharapkan akan ada keputusan yang secara khusus mengizinkan para pihak menyepakati diluncurkannya proyek percontohan dan metode penghitungan. "Kita belum tahu bagaimana menghitung laju deforestasi. Kalau sudah diputuskan di Bali, negara-negara seperti Indonesia yang menyepakati keputusan itu bisa segera melakukan pilot project," ujar dia. Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad berpendapat program REDD bukanlah solusi mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global. "Bisnis utama yang mesti dipikirkan semua orang di dunia ini adalah bagaimana melakukan pemotongan emisi karbon secara mendasar," kata Chalid. Selain itu, harus dipikirkan bagaimana negara-negara yang secara historis menjadi penyebab pemanasan global karena industri karbonnya dapat bertanggung jawab. "Tanggung jawab itu bukan charity. Pemberian uang bukan charity tapi bentuk tanggung jawab," tegasnya. Chalid menilai skema REDD tidak lebih dari skema pencucian dosa. "Karbon tetap dilepaskan, tapi kita dikasih uang untuk menjaga hutan dan sebagainya. Emisi karbon tetap dirilis dalam jumlah besar. Hal ini tidak akan memberikan keselamatan bersama," ungkap mantan Koordinator Nasional Jaringan Tambang (Jatam). Program REDD itu akan memperlakukan masyarakat Indonesia tidak lebih sebagai "satpam" hutan-hutan Indonesia, yang bekerja dilandasi kehendak si pemberi uang. "Dalam skema konservasi saja sudah banyak konflik antara rakyat dengan pengelola konservasi akibat diputusnya akses rakyat untuk meraih penghidupan dari hutan mereka. Apalagi dengan skema REDD yang tak lebih dari sekadar urusan bayar-membayar," kata Chalid. Menanggapi kekhawatiran tersebut, Dewi Savitri optimistis program REDD tidak akan memutus hak-hak rakyat terhadap hutan mereka. "Dari pilot project itu kita bisa belajar. Jika menguntungkan, akan kita lanjutkan sebagai climate regime pasca-2012. Tetapi kalau merugikan, tentu itu tidak akan dilanjutkan. Masih terlampau dini untuk kita bisa menyimpulkan," kata Dewi. [SP/Nyoman Mardika] Post Date : 03 Desember 2007 |