Perpaduan Misi Ekologis-Ekonomis

Sumber:Kompas - 07 Februari 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Puluhan tahun merantau meninggalkan kampung halaman di Sinjai, Sulawesi Selatan, tak pernah terbayang dalam benak Marzuki H Toeng (60) bahwa suatu ketika ia melakoni nasib di Ibu Kota sebagai tukang sampah. Di usianya menjelang senja, ayah dari empat anak itu setiap hari bergumul dengan limbah rumah tangga yang sudah pasti akrab dengan aroma kurang sedap.

Namun, berkat ketelatenan dan keuletannya, barang- barang buangan yang semula tak berharga dan dipandang sebelah mata itu menjadi bernilai ekonomis. Sampah yang diolahnya menjadi kompos menghasilkan uang yang lumayan cukup untuk menyambung hidup keluarganya. Belasan warga RT 07/RW 08, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, yang turut mengelola usaha itu secara berkelompok ikut menikmatinya.

Dari kegiatan itu, setiap bulan Marzuki memproduksi kompos enam ton. Jika satu kilogram pupuk kompos dijualnya seharga Rp 750 per kg, bisa dihitung berapa rupiah yang diraup Marzuki saban bulan dari usaha itu.

Dari usaha itu pula, Marzuki bisa menabung untuk mewujudkan tekadnya menyekolahkan keempat anaknya minimal setingkat sarjana. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik Universitas Indonesia (1987) itu tak puas jika putra-putrinya hanya lulusan SLTA.

Tanpa perlu repot-repot mempromosikan dan menjajakan produknya, kompos Marzuki langsung habis terserap pasar. Satu ton di antaranya sudah pasti dibeli oleh PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk untuk pemeliharaan taman-taman dalam area rekreasi. Lima ton lainnya dijual ke masyarakat umum.

Difasilitasi oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, akhir tahun lalu Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta berkomitmen membeli produk kompos Marzuki untuk keperluan pemeliharaan taman di Ibu Kota.

Awal kisah

Bagaimana ceritanya sampai suami dari Betti Harini ini menggeluti sampah dan bersinergi dengan PT Pembangunan Jaya Ancol? "Waduh, panjang. Saya sempat gagal, malu, terus kabur ke Surabaya," ujar Marzuki ketika ditemui akhir Januari lalu.

Tahun 2003, setelah pensiun sebagai pegawai dari sebuah pabrik di bilangan Jakarta Utara, Marzuki tak ingin membiarkan waktu senggangnya hanya diisi dengan berpangku tangan. Fisiknya yang tergolong kekar dirasakannya ngilu jika dibiarkan berdiam diri.

Masih di tahun yang sama, Marzuki terinspirasi oleh ajakan seorang perempuan aktivis lingkungan hidup untuk mengolaah sampah yang menggunung di sekitar tempat tinggalnya untuk diolah jadi kompos. Mulailah Marzuki terjun mengais-ngais tumpukan sampah.

Pertama-tama dipilahnya antara sampah bahan organik dan nonorganik. Bahan organik antara lain mencakup dedaunan, potongan sayur mayur, kulit buah-buahan, dan sisa-sisa lauk- pauk. Adapun bahan nonorganik biasanya berupa limbah bahan plastik dan logam.

Selanjutnya, sampah organik dicacah-cacah menjadi bagian- bagian yang kecil menghampiri ukuran serbuk gergaji atau sekam padi. Bahan yang sudah dihancurkan tersebut disimpan dan diperam selama sekitar sepekan. Dengan sedikit campuran unsur nitrogen, posfor, dam kalium, pada bahan-bahan tersebut proses pemeraman menjadi sempurna, dan terciptalah serbuk-serbuk humus bercampur gas yang dinamakan kompos.

Bulan-bulan pertama, produk kompos Marzuki belum mencapai komposisi yang ideal sebagai bahan penggembur tanah dan perangsang tumbuh tanaman. Hasil laboratorium Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa kandungan garam kompos Marzuki terlalu pekat.

"Rupanya karena terlalu banyak bercampur sisa makanan khususnya daging dan ikan," papar Marzuki.

Perempuan aktivis lingkungan yang sering disapanya sebagai "Mbak Kun" itu terus membesarkan semangatnya. Dengan ketekunan dan ketelatenan mengikuti panduan ideal, Marzuki akhirnya bisa memproduksi kompos dengan komposisi sempurna.

Setelah uji laboratorium dari Sucofindo yang menguatkan produknya dengan sertifikat, konsultan dari PT Pembangunan Jaya Ancol akhirnya merekomendasikan untuk menggunakan kompos yang dibuat Marzuki. Melibatkan tujuh rekan dan tetangganya yang dipimpin oleh Burhan, mereka pun dikukuhkan sebagai bagian dari komunitas masyarakat pendukung program Ancol Sayang Lingkungan, yang sudah dirintis sejak 2002.

Program tersebut merupakan wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan PT Pembangunan Jaya Ancol yang tak sekadar menyadarkan masyarakat akan pentingnya lingkungan yang asri, tetapi juga bermisi pemberdayaan sosial-ekonomi.

Perangkat kerja Marzuki dalam memproduksi kompos berupa tiga drum pemeram cacahan sampah, digenapi oleh pihak Ancol menjadi 10. Diiringi penyuluhan rutin, pihak Ancol pun menyokongnya dengan modal kerja Rp 5 juta. Selain itu, Marzuki diberi hak untuk mendirikan usahanya di jalur hijau dalam area wilayah industri milik PT Pembangunan Jaya Ancol.

Sayangnya, pada saat-saat awal dibina oleh Ancol, sinergi antara Marzuki dan rekan- rekannya tidak serta merta terbangun solid. Produk kompos mereka lagi-lagi gagal menemukan proporsi yang ideal.

"Saya jadi malu. Sudah terima uang dari Ancol, tapi tidak bisa menghasilkan produk sesuai standar," cerita Marzuki. Karena tak kuat menanggung malu, Marzuki berusaha menghindar dari pantauan Ancol. Ia sempat kabur ke Surabaya.

Hampir sebulan menghilang, Marzuki datang kembali untuk memohon diberi kesempatan berbenah diri. Dengan tekad yang bulat, diajaknya kembali rekan-rekannya untuk bekerja serius dan tidak mengecewakan pihak-pihak yang membinanya.

Ekologis-ekonomis

Sinergi yang dilakoni antara Marzuki dan rekan-rekannya berikut PT Pembangunan Jaya Ancol tak hanya memberikan keuntungan ekologis, tetapi juga memberikan keuntungan yang berimplikasi ekonomis.

Dari situ sebetulnya tersirat sebuah pembelajaran yang mestinya membuka mata semua warga Jakarta dan pemangku kepentingan bahwa sesuatu yang semula dipandang sebelah mata bisa menghasilkan manfaat bernilai multidimensi: ekologi, ekonomi, dan sosial.

Sesuatu yang semula dipandang menjijikkan bisa bernilai ekonomi setelah diramu oleh tangan-tangan terampil. Di balik itu semua, yang tak ternilai harganya adalah gagasan untuk menghimpun potensi yang berserakan... Nasrullah Nara



Post Date : 07 Februari 2007