|
HINGGA saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih kebingungan untuk membuang sampah sebanyak 6.000 ton per hari (setara 25.650 meter kubik) milik warganya. Mau membuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi masih bermasalah. Bagaimana dengan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor? Jawabannya sama saja! Buktinya, hingga awal Januari 2004 ini, TPST Bojong belum siap dioperasikan seperti rencana semula. Berbagai tempat pun dijadikan alternatif pembuangan sampah, pascapenutupan TPA Bantar Gebang. Sebut saja TPA Cilincing, Jakarta Utara. Untuk sementara, kawasan dengan luas tidak lebih dari satu hektar tersebut menjadi sasaran pembuangan sampah dalam jangka waktu enam bulan. Padahal, keinginan Pemprov DKI membuang sampah di TPA Cilincing selama enam bulan jelas mustahil. Untuk sehari dengan rata-rata sampah yang dibuang ke sana sebanyak 1.000 ton saja, tanah yang tersita mencapai 4.000 meter kubik per hari, dengan asumsi satu ton sampah terdiri atas empat meter kubik. Bila setiap harinya sampah yang dibuang sebanyak 1.000 ton saja, total lahan yang tersita setiap harinya 1.000 meter persegi, dengan ketinggian sampah empat meter. Dengan 1.000 ton per hari, dalam sepuluh hari lahan di TPA Cilincing sudah tertutup sampah semuanya setinggi empat meter. Untuk enam bulan, berapa meter ketinggian sampah tersebut? "Tidak akan mungkin di TPA Cilincing sanggup menampung selama enam bulan," kata penanggung jawab Stasiun Peralihan Antara (SPA) Cilincing yang juga penanggung jawab TPST Bojong Sutarto Sarbini, Kamis (8/1). Lantas, hendak dikemanakan ribuan ton sampah itu? Bagi Pemprov DKI Jakarta, tidak ada cara lain yang paling tepat dalam pengelolaan sampah DKI Jakarta selain mencoba mengelola sampah dengan teknologi tinggi, seperti dengan sistem bala press. Bala press merupakan teknologi pengolahan sampah dengan cara membungkus sampah-sampah dengan plastik hingga menyerupai kubus besar yang disebut bal. Pengolahan sampah sistem bala press tidak memakan lahan terlalu banyak. Selain itu ramah lingkungan dan relatif bersih. Hanya saja, untuk langkah seperti ini, jelas butuh kerendahan hati dari para pejabat di lingkup Suku Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk mengakui kesalahan dalam pengelolaan sampah sebelumnya. Itu saja tidak cukup. Mereka masih harus lebih tanggap terhadap risiko ke depan bila sampah tidak dikelola dengan baik sejak hari ini. KENYATAAN yang terjadi justru tidak demikian. Pejabat dalam lingkup Suku Dinas Kebersihan DKI tidak mencoba merespon dengn cepat adanya tawaran pengolahan sampah dengan sistem bala press tersebut. Buktinya, pada tahun 2003 lalu, Dinas Kebersihan DKI Jakarta sebenarnya telah mendapatkan kucuran dana segar untuk pembelian mesin bala press senilai Rp 29 miliar. Namun, dengan semakin kondusifnya iklim "persampahan" yang melibatkan DKI dengan Pemerintah Kota Bekasi, membuat kebijakan itu ditinjau ulang. Hasilnya, dana sebesar Rp 29 miliar terpaksa dikembalikan lagi, dengan alasan sudah tidak ada program mendesak yang harus dilakukan DKI dalam pembuangan sampah. Ini disebabkan kerja sama pengelolaan sampah di Bantar Gebang ketika itu masih bisa dilanjutkan. "Siapa yang mengira kalau Bantar Gebang akhirnya bermasalah, dan di saat bersamaan, TPST Bojong belum bisa beroperasi karena ditentang warga," kata Sutarto. Sesungguhnya, peliknya pengelolaan sampah di DKI Jakarta lebih banyak disebabkan tidak adanya kesungguhan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk sungguh-sungguh mengelola sampah dengan baik. Sampah hanya dipandang sebagai "komoditas" yang bisa menghasilkan banyak uang. Sampah kerap hanya dilihat sebagai "emas hitam" yang bisa mendatangkan banyak proyek! Tidak perlu heran bila kemudian pengelolaan sampah di Bantar Gebang tidak pernah beres. Menurut sumber Kompas, dana untuk pengelolaan sampah di Bantar Gebang pada tahun 1999 hingga 2000 tidak pernah dianggarkan dalam APBD. Baru ketika muncul persoalan, mereka kelimpungan dan mulai menata Bantar Gebang. Itu jelas terlambat. Buruknya sistem pengelolaan sampah di DKI juga terlihat dari kacaunya pengoperasian mesin pengepres sampah di SPA Sunter. "Di sini kadang-kadang mesin jalan, tetapi sering mati karena tidak ada solar (bahan bakar). Mau ngepres apa kalau enggak ada solar," kata seorang sopir truk sampah yang biasa membawa sampah ke SPA Sunter untuk dipres. Menurut Sutarto, banyak keunggulan yang didapat dari pengolahan sampah dengan teknologi tinggi sistem bala press. Pertama proses pengolahannya cepat. Ada pemilahan jenis sampah, dan sudah tidak mengandung limbah cair. Teknisnya, kata Sutarto, sampah yang dikumpulkan oleh petugas kebersihan DKI Jakarta dikirim ke SPA Cilincing. Di sana, sampah dipindahkan ke mobil kapsul khusus pengangkut sampah milik PT Wira Gulfindo Sarana. Di dalam truk kapsul tersebut, dilakukan pengepresan untuk mengeluarkan limbah cair. Prosesnya tidak lama. Untuk satu truk kapsul dengan muatan 25 ton hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit. Sampah yang telah dipres lalu dibawa ke TTPST Bojong untuk diolah dan dikemas dalam bentuk kotak menyerupai bujur sangkar (bal) dengan volume 1,3 meter kubik dan berat antara 500-1,200 kilogram. Untuk membungkus sampah menjadi bal perlu plastik jaring dan plastik film dari bahan jenis polythene yang dapat didaur ulang. Keuntungan dari pembungkusan tersebut, mengurangi total volume sampah karena tidak mengalami pemekaran, mudah disimpan, dan mudah diangkut. Pembungkusan plastik yang ketat tidak memunculkan kantong-kantong udara. Dengan demikian, proses biologis, baik itu proses aerobik dan anaerobik, berakhir karena tidak ada pasokan udara. Sementara bahan pelapis bal dari plastik film terbuat dari plastik jenis polythene bekas klorin. Bahan tersebut dapat didaur ulang atau bisa saja disertakan dengan sampah untuk dibakar dalam incenerator dengan hasil yang bersih. Menurut Sutarto, proses "mencetak" sampah menjadi bal-bal tersebut tidak lama, hanya butuh waktu tiga hingga empat menit. Peralatan sistem bala press-nya dapat dengan mudah dipindahkan dan sedikit membutuhkan persiapan. Peralatan tersebut dibangun dalam kesatuan unit dan sangat mudah dipindahkan. Bisa ditempatkan di dalam atau di luar ruangan. BURUKNYA pengelolaan sampah di DKI Jakarta serta pengalaman berharga yang didapat dari kasus di Bantar Gebang, seharusnya memunculkan kesadaran bagi Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk menerapkan sistem pengolahan sampah dengan bala press. Sampah sekarang dan di masa depan, tidak hanya cukup dikelola dengan sistem sanitary land field, yang memerlukan luas lahan lebih luas dan jangka waktu lebih singkat. Sebagai contoh, dengan kapasitas 800 ton per hari, diperlukan lahan empat hektar dalam setahun dengan sanitary land field. Dalam waktu yang sama, dengan bala press hanya perlu dua hektar. Pemakaian volume lahan lebih besar. Untuk sanitary land field volume lahan per tahun 403.200 m3. Adapun bala press hanya 201.600 m3. Tidak ada salahnya DKI Jakarta memulai sistem pengelolaan sampah dengan sistem bala press. Selain lebih ramah lingkungan, teknologi bala press juga bisa memperpanjang umur lahan, mengurangi air sampah, meminimalisasi gas beracun, menghindari kebakaran spontan. Mengurangi bau, lalat. Tidak ada pencemaran air tanah. Namun seperti kasus-kasus sebelumnya, pengelolaan sampah oleh DKI tidak bisa berjalan baik. Lihatlah SPA Sunter yang mesinnya sering tidak jalan karena tidak ada solar. Belum lagi seringnya penggantian suku cadang yang seharusnya belum perlu diganti. Bagaimanapun, masyarakat sepertinya sudah sangat pesimis dengan "strategi" Pemprov DKI mengelola sampah. Selain minim sumber daya manusia yang profesional, yang bersih, jujur, anti suap, dan mau bekerja keras, pengawasan internal dalam lingkup pemerintahan juga lemah. Bila demikian, mengapa pengolahan sampah tidak diserahkan saja sepenuhnya pada swasta? (K05/*/MAS) Post Date : 09 Januari 2004 |