|
Jakarta, Kompas - Kasus muntaber, kejadian luar biasa diare, dan merebaknya flu burung di berbagai tempat di Indonesia merupakan salah satu bukti betapa buruknya kondisi sanitasi di Indonesia dan rendahnya perilaku hidup sehat masyarakat. "Buruknya fasilitas sanitasi kota untuk mengelola sampah rumah tangga, komersial, dan drainase comberan dan kotoran manusia menjadi sumber infeksi saluran pernapasan atau pencernaan manusia," kata mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim pada diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Kamis (4/10). Diskusi ini terkait rencana Konferensi Sanitasi Nasional di Jakarta, 30 Oktober-1 November 2007. Saat ini mobilisasi sumber daya untuk percepatan pembangunan sanitasi sudah sangat dibutuhkan karena kesehatan masyarakat sudah sangat terganggu. Lebih dari 80 persen air tanah perkotaan tercemar bakteri tinja. Akibatnya, insiden diare masih tetap tinggi. Dari tiap 1.000 bayi lahir, hampir 50 persen di antaranya meninggal karena diare sebelum usia lima tahun. Hampir 24 juta penduduk Indonesia tak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar, jauh melebihi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari data Bank Pembangunan Asia, untuk mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs) tahun 2015 dibutuhkan investasi Rp 50 triliun. Saat ini investasi pemerintah pusat dan daerah baru rata-rata Rp 50 miliar per tahunnya. Kegagalan penanganan sanitasi di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian lebih dari Rp 45 triliun per tahun, atau sekitar 2,2 persen dari GDP kita (Buku Infrastruktur Bappenas 2003). Ini setara dengan hilangnya pendapatan setiap rumah tangga sebesar Rp 100.000 per bulan. (LOK) Post Date : 05 Oktober 2007 |