Perlu Penanganan Terpadu

Sumber:Suara Pembaruan - 27 Maret 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Di Jakarta, menurut data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, jumlah sampah Ibukota saat ini 28.000 meter persegi per hari. Sekelompok anak muda yang bergabung dalam Perkumpulan Hijau membayangkan, dengan sampah sebanyak itu, dalam dua hari dapat dibangun satu Candi Borobudur dari sampah warga Jakarta.

Lalu bagaimana di Kota dan Kabupaten Bogor? Menurut beberapa analisis, dalam 10 tahun ke depan, Kota Bogor terancam tertimbun sampah jika mulai dari sekarang tidak ada penanganan serius dari pemerintah dan kesadaran warga akan kebersihan lingkungan.

Ancaman itu sudah semakin nyata kalau kita melihat kondisi penanganan sampah di Kota Bogor yang kian hari kian susah. Artinya, ada-ada saja persoalan yang muncul seperti keterbatasan dana, sulitnya mencari lahan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang baru, beberapa TPA yang ada sudah over kapasitas, truk pengangkut dan alat pengolah sampah yang kurang memadai karena tua, rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan, dan minimnya sumber daya manusia (SDM) di bidang sampah.

Pemerintahan Kota (Pemkot) Bogor menyadari betul persoalan di atas, terutama masalah mencari TPA baru. Pemkot Bogor selama ini membuang sampah-sampahnya di sejumlah TPA milik Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bogor. Dari sekian banyak lokasi TPA di Kabupaten Bogor, kondisinya rata-rata sudah over kapasitas. Hubungan Pemkot dan Pemkab Bogor pun tidak seharmonis dahulu, sehingga besar kemungkinan Pemkab Bogor akan menghentikan perjanjian kerja sama penggunaan TPA di wilayahnya dengan Pemkot Bogor.

Terlepas dari semua persoalan tersebut, Pemkab Bogor sendiri juga menyadari betul soal sampah ini, cepat atau lambat akan menimbulkan masalah. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong yang berlokasi di Kampung Rawa Jeler, Desa Bojong, Kecamatan Kelapa Nunggal sampai saat ini pun masih bermasalah, lantaran mendapat reaksi keras penolakan dari warga setempat, sehingga TPST itu belum bisa di operasikan.

TPA Nambo

Pemkab Bogor pun mencari lokasi baru. "Kami sudah mempunyai lokasi TPA baru di Desa Nambo, Kecamatan Cileungsi, dan akan mempercepat pembangunan TPA regional di Nambo dengan luas areal 100 ha. Saat ini, kami baru sampai pada tahapan pembebasan tanah," ungkap Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor Drs. H. Ridwan dalam laporannya.

Ketua DPRD Kabupaten Bogor H Rachmat Yasin mendukung upaya tersebut. Ia mengatakan, Pemkab Bogor dan pihak-terkait sudah banyak belajar dari pengalaman kasus di TPST Bojong, sehingga proyek pembangunan TPA di Nambo itu rencananya akan dibuat sedemikian rupa, menggunakan teknologi modern, sehingga meminimalisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan. ''Yang penting sekarang bagaimana kita bisa memberikan penjelasan, pengertian dan pengarahan kepada masyarakat Nambo dan sekitarnya," katanya.

Anggota Komisi C DPRD Bogor Ir Sumarli dari Fraksi Keadilan Sejahtera (FPKS) mengingatkan agar pengolahan sampah di TPA Nambo jangan sampai menimbulkan masalah di kemudian hari.

Pembangunan TPA Nambo sendiri direncanakan terealisasi tahun 2009. Luas lahan yang akan dipakai sekitar 56 hektare lebih. Lahan itu hingga sekarang masih milik Perum Perhutani Jawa Barat dan kabar terakhir saat ini sedang dalam proses negosiasi pembebasan lahan.

Dilihat dari lokasinya, daerah tersebut memang cukup jauh dari pemukiman penduduk, jaraknya kurang lebih mencapai lima kilometer dari Kantor Desa Nambo. Daerah tersebut saat ini masih berupa hutan dan semak belukar dengan bebatuan kapur, letaknya berada di daerah lembah yang diapit oleh empat gunung kapur, persis di belakang pabrik Indocement di Kawasan Cibinong.

Masyarakat tentu berharap, jika pembangunan TPA regional di Nambo ini berhasil dan dapat terlaksana sesuai rencana, maka permasalahan sampah Jakarta, Depok, Kabupaten dan Kota Bogor dapat segera diatasi.

Pendekatan Regional

Masalah sampah kini menjadi masalah regional dan pengelolaan pun perlu pendekatan regional. Pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Direktur Pusat Lembaga Environmental Research Center Bogor Agricultural University, Dedi Soedharma mengatakan, sampah merupakan limbah padat yang keberadaannya berasal dari sisa aktivitas manusia (masyarakat) sehari-hari atau dalam skala kecil bisa kita sebut dengan sampah rumah tangga.

Mengenai produksi sampah yang dihasilkan terdiri dari dua jenis atau kelompok sampah, yakni sampah organik dan sampah non organik, sehingga keberadaan sampah ini jika tidak ditangani dan dikelola dengan baik akan membahayakan lingkungan.

Pengolahan sampah harus dengan melakukan pendekatan menyeluruh, membuat payung hukum yang menjadi kebijakan resmi dari tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini baru pada tahapan aspek teknis yaitu dengan melakukan pengurangan timbunan sampah dengan menerapkan reduce, reuse dan recycle.

Menurut dia, pendekatan pengolahan sampah di wilayah Jabotabek sebaiknya dilakukan secara regional dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten. Penanganan dengan sistem regional ini akan lebih baik dan sangat menguntungkan secara ekonomi.

Pada dasarnya untuk sampah organik seperti sisa-sisa sayuran dan sejenisnya dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk kompos (pupuk) sebab proses pembusukannya relatif lebih cepat dan mudah. Namun, untuk sampah jenis non organik, seperti sampah plastik dan lainnya perlu penanganan khusus sehingga tidak menimbulkan masalah.

Untuk permasalahan sampah ini, kata dia, para ahli di IPB sedang mengembangkan bakteri penghancur sampah (activator). Dengan teknologi ini diharapkan akan mengurangi permasalahan sampah dalam skala kecil atau rumah tangga. Dengan alat sederhana tersebut sampah rumah tangga akan memiliki nilai ekonomis berupa pupuk kompos.

Sampah memang telah menjadi masalah serius. Untuk itu perlu segera dicarikan solusi. "Jakarta sebagai Kota Megapolitan untuk saat ini sudah tidak akan mampu menampung sampahnya yang mencapai 6.000 ton/hari. Untuk itu perlu segera mencari lokasi tepat pembuangan sampah ke daerah di sekitarnya seperti Bogor atau Bekasi, di mana di daerah tersebut saat ini masih memungkinkan dan saya rasa Bogor masih cocok," katanya.

Ridwan mengaku, persoalan sampah tidak hanya di Jakarta. Pengelolaan sampah di Bogor sendiri baru akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan bila mendapat dukungan dari masyarakat Bogor itu sendiri. "Masyarakat harus berperan aktif dalam mengikuti peraturan-peraturan kebersihan umum, membayar retribusi, maupun ikut menangani sampah yang diproduksi secara baik dan benar," tegasnya.

Dari data yang ada, kata dia, sampah di Kabupaten Bogor mencapai 3.060 meter persegi/hari, sedangkan yang dapat terangkut baru 545 meter persegi/hari. Komposisi fisik sampah terdiri dari sampah organik, kayu, kertas, logam, kaca, plastik dan sebagainya.

Dalam menangani masalah sampah, Pemkab Bogor mengaku mengalami kendala antara lain, keterbatasan jumlah sarana kendaraan berupa truk sampah yang hanya 52 unit, dengan kondisi 9 unit telah rusak berat, dan 43 unit kondisinya baik (85%) dan masih layak pakai. Alat-alat berat juga minim seperti buldoser hanya ada 4 unit, Wheel Loader 1 unit, Excavator 1 unit dan Backhoe Loader 1 unit.

Sementara lokasi TPA yang dimiliki Kabupaten Bogor ada enam lokasi yakni TPA Pondok Rajek, TPA Sukasirna (Jonggol), TPA Waru (Parung), TPA Galuga (Leuwiliang), TPST Bojong (masih bermasalah dengan warga), dan terakhir TPA regional di kawasan Nambo. [SP/Epi Helpian]



Post Date : 27 Maret 2008