Perlu Paradigma Baru...

Sumber:Kompas - 09 Januari 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

Kenapa 1.001 persoalan yang terkait dengan Ciliwung seperti tak bisa diatasi sampai tuntas? Dari tahun ke tahun, masalah yang ditimbulkan sungai itu bahkan terkesan semakin serius. Banjir yang menyengsarakan banyak warga Jakarta akibat luapan airnya semakin kerap terjadi, sampah dan limbah semakin menumpuk. Sementara penyempitan dan pendangkalan terus berlangsung.

Sudah saatnya digunakan paradigma baru dalam usaha mengakhiri musibah yang dibawa Ciliwung sejak berabad-abad lalu. Demikian salah satu pemikiran yang mencuat dalam acara diskusi terbatas yang diselenggarakan Kompas, Kamis (8/1), menjelang diselenggarakannya Ekspedisi Ciliwung Kompas 2009.

”Kita perlu membalik pandangan kita tentang Ciliwung. Banjir, kan, tak selalu berarti masalah. Bagi petani, banjir malah merupakan hal yang ditunggu karena artinya sawah mereka bisa terairi dengan baik,” kata Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Pitoyo Subandrio.

Menurut Pitoyo, musibah kemanusiaan yang sebenarnya adalah kekeringan, bukan banjir. Kekeringan bisa membuat sekarat dan tewas. Air, apalagi dalam jumlah melimpah, pada dasarnya merupakan anugerah. ”Hanya saja kita belum mampu mengelolanya dengan baik,” ujarnya.

Persoalan yang dihadapi Jakarta adalah semakin meluasnya wilayah banjir. Hal ini karena hilangnya daerah rawa, setu, dan danau, yang dulu banyak terdapat di Jakarta, karena diubah menjadi daerah permukiman.

”Air yang melimpas dari sungai dulu ditampung di setu, rawa, dan danau ini. Banjir terjadi karena air yang meluap dari sungai tidak punya lagi tempat penampungan,” ungkap Pitoyo.

Padat penduduk

Perlunya perubahan cara pandang untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan Ciliwung juga dikemukakan pakar sosiologi Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri. Menurut Gumilar yang Rektor Universitas Indonesia itu, untuk memahami Ciliwung dapat dilihat dalam perspektif yang lebih luas, seperti kepadatan penduduk bumi di dunia.

Indonesia adalah bagian dari dunia yang padat penduduk. Di Indonesia, penduduk terpadat adalah di Pulau Jawa. Sedangkan di Pulau Jawa, yang terpadat penduduknya berada di Jabodetabek.

Kerusakan Ciliwung tentu terkait dengan kepadatan penduduk Jakarta dan sekitarnya yang sebagian menghuni tepian Ciliwung. Mereka memperlakukan Ciliwung seperti tempat pembuangan sampah. Bermacam-macam sampah ada di dalamnya.

Menurut Gumilar, Ciliwung harus dibicarakan dalam perspektif peradaban masa depan, di mana persoalan lingkungan dan konservasi alam merupakan isu sentral.

Kepala Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi mengungkapkan, banjir di Jakarta bukan disebabkan oleh rusaknya kawasan hutan di hulu Ciliwung, seperti yang banyak disangka orang selama ini.

”Kawasan hutan di Puncak sebetulnya relatif terjaga dengan baik. Konversi lahan justru banyak terjadi di kawasan budidaya, yang berupa kebun atau sawah,” papar Ernan dalam acara diskusi yang dipandu pakar perencanaan kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna.

Sementara itu, ahli sejarah banjir Jakarta, Restu Gunawan, mengatakan, untuk mengembalikan Ciliwung sebagai sungai yang sehat dan bermanfaat, warga Jakarta pun harus mengubah cara berpikirnya tentang sungai.

Walau tinggal di kota, menurut Restu, warga Jakarta sebetulnya belum memiliki kebudayaan kota metropolitan. Mereka masih biasa membuang sampah di sungai, yang merupakan bagian dari kebudayaan pedesaan.

Kebiasaan membuang sampah di sungai bukan saja dilakukan warga biasa, tetapi juga oleh oknum-oknum pegawai pemerintah. ”Saya sering melihat pengemudi truk sampah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membuang sampah di Ciliwung,” papar Restu. (muk)



Post Date : 09 Januari 2009