|
Jakarta, Kompas - Inggris dan negara-negara Uni Eropa lainnya mendukung dilanjutkannya Protokol Kyoto ke periode kedua. Namun, Uni Eropa hanya bersedia meratifikasi apabila ada rezim lain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang juga mengikat secara hukum bagi negara-negara non-Annex I. Protokol Kyoto diratifikasi tahun 1997 oleh negara-negara maju yang tergabung pada kelompok Annex-I. Demikian antara lain dikatakan Penasihat Politik Iklim Unit Perubahan Iklim Inggris, Stuart Bruce, pada pertemuan dengan pers, Jumat (4/11), di Jakarta. Kesepakatan Protokol Kyoto ke periode kedua diharapkan terjadi pada COP-17 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan. ”Kami mendukung Protokol Kyoto periode kedua dengan syarat ada kerangka kerja lain yang mengikat secara hukum agar negara lain (non-Annex I) turut berkomitmen dan tahun 2020 keduanya menyatu,” ujar Bruce. ”Komitmennya tidak harus tinggi. Yang penting ada komitmen sehingga semua melakukan bersama,” ujarnya. Kelanjutan Protokol Kyoto tertunda sejak COP-15 UNFCCC tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark. Pada COP-16 di Cancun, Meksiko, 2010, upaya melanjutkan Protokol Kyoto gagal lagi. Protokol yang diratifikasi pada 1997 itu memuat komitmen negara-negara Annex I menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga rata-rata 5,2 persen pada tahun 2020 dari level emisi tahun 1990. Periode pertama protokol berakhir 2012. Emisi GRK menyebabkan pemanasan global yang berujung perubahan iklim. Bruce mengatakan, di Durban akan dibahas tiga hal. Selain Protokol Kyoto, hal lain adalah pendanaan jangka panjang untuk perubahan iklim dari negara-negara maju yang disepakati di Cancun, besarnya 100 miliar dollar AS pada 2020, serta pengecekan kerja sama teknis Pengurangan Emisi melalui Degradasi Lahan dan Deforestasi (REDD+) dan dana iklim global (GCF). Negara pulau protes Aliansi Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) berpendapat, Jepang dan Rusia tidak bertanggung jawab karena telah mendorong penundaan Protokol Kyoto periode kedua sampai tahun 2018 atau 2020. ”Jika dibiarkan terjadi, dampak pemanasan global akan semakin buruk dan dampaknya ke negara seperti Granada akan sangat masif,” ujar Menteri Lingkungan Granada Joseph Gilbert, Kamis (3/11), seperti dikutip Reuters. (ISW) Post Date : 05 November 2011 |