Perlu Kelola Perilaku

Sumber:Kompas - 06 Juni 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Lingkungan memiliki kemampuan melumat ”limbah” hingga alam tetap bersih dan tercapai keseimbangannya. Namun, karena tekanan manusia, daya alami itu melemah, bahkan menghilang. Perlu campur tangan manusia untuk mengatasi pencemaran akibat ulahnya sendiri. Untuk itu harus dimulai dengan membenahi perilaku pemerintah dan warganya.

Tanpa pendekatan sosial, masalah lingkungan tidak pernah dapat teratasi karena wajah kota cermin pemerintah dan masyarakatnya. Pada Hari Lingkungan Hidup tahun ini aspek perilaku dikedepankan dengan mengambil tema ”Ubah Perilaku, Cegah Pencemaran Lingkungan”, yang berorientasi pada upaya mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim.

Upaya mengubah perilaku atau kebiasaan bukan perkara mudah dan cepat. Perlu waktu lama, bahkan lintas generasi. Untuk menciptakan lingkungan kota yang bersih dan asri di setiap pelosok seperti sekarang, Singapura menjalani proses perubahan selama beberapa generasi di bawah kolonial Inggris.

Mengubah sikap masyarakat agar prolingkungan telah dirintis di berbagai daerah, antara lain di Minahasa. Di sana setiap mempelai pria yang akan menikah harus menanam pohon sebagai syarat agar lamarannya diterima. ”Penanaman itu harus ditunjukkan dengan foto sebagai bukti kepada calon mertua,” urai Sompie Singal, Bupati Minahasa Utara, dalam diskusi tentang UU Pengelolaan Sampah di Jakarta, Rabu (4/6).

Sosialisasi pengolahan dan pemanfaatan sampah rumah tangga juga pernah dilakukan sejak 1990-an di DKI Jakarta. Salah satu yang terlibat dalam kegiatan itu adalah Siti Rukemi, Ketua Pengelola Koperasi Perempuan. Dia menjadi Ketua RT 03/02 Kelurahan Pejaten Timur.

Ia bersama kelompoknya dilatih membuat kompos dan mengikuti studi banding ke beberapa tempat, seperti ke Penjaringan yang mengolah limbah organik untuk dimanfaatkan gas metannya dan ke Bantar Gebang. Namun, sampai program sosialisasi berhenti, belum tampak perubahan.

Kini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memprakarsai penyuluhan bagi para ibu di wilayah itu dari Kelompok Koperasi di bawah binaan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita. Mereka diajar membuat kertas daur ulang dan kompos untuk pupuk tanaman bernilai ekonomi, antara lain lidah buaya, sekaligus diajarkan mengolah lidah buaya menjadi aneka makanan.

”Kami yakin upaya ini bisa berlanjut karena dapat memberi pendapatan bagi ibu-ibu,” ujar Siti dan Alaliah, Ketua RT 07/02 Pejaten Timur.

Pemanfaatan sampah organik sebagai kompos, menurut Syamsuri PH, Koordinator Bidang Tanaman dari Pusat Sinergi Riset dan Bisnis, dapat membantu menekan penggunaan pupuk kimia dan meningkatkan produksi komoditas yang masih diimpor, seperti jagung dan kedelai.

Upaya mendorong pengelolaan sampah berbasis komunitas dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) itu, jelas Selamet Daroyni, aktivis Walhi, adalah salah satu aktivitas Walhi Jakarta melalui program Jakarta Eco-justice Initiative for the Future. Dengan langkah ini, ia berkeyakinan warga Jakarta dapat mengatasi sendiri masalah sampah tanpa harus mengirimnya ke wilayah tetangga.

Walhi Jakarta juga akan melakukan kampanye ke industri dan pusat perbelanjaan untuk mengubah pola produksi kemasan yang ramah lingkungan, pendidikan lingkungan melalui Green Student Movement secara berkala, serta advokasi kebijakan untuk implementasi perda dan audit lingkungan hidup.

Dalam pengelolaan limbah padat domestik di perkotaan, menurut RTM Sutamihardja, guru besar IPB, masalah yang terus ada adalah peningkatan timbunan sampah 4 persen per tahun yang tak diimbangi dukungan prasarana dan sarana, serta konsep 3R yang tidak jalan karena partisipasi warga rendah, dan kebijakan limbah domestik yang tidak konsisten.

Di Jakarta, kata Selamet, sekitar 10 juta orang harus menikmati lingkungan hidup yang tercemar dan tidak layak huni karena 11 bulan udaranya tercemar dan dikepung 6.000 ton sampah yang menggunung. Ada 5,8 juta orang terpaksa mengonsumsi air tanah dan sungai yang tercemar berat. Belum lagi ancaman banjir dari 68 titik rawan.

Guru besar arsitektur lanskap IPB, Hadi Susilo Arifin, menyarankan agar mempertahankan daerah terbuka hijau—tinggal 11 persen—dan hutan kota—tinggal 1 persen. Di kawasan terbuka hendaknya dibangun taman kota, taman lingkungan, taman bermain di permukiman, serta taman kantung di simpang dan pojok jalan.

Vegetasi di kawasan permukiman akan membantu menjaga iklim mikro dan menyerap pencemaran udara. Untuk menghijaukan kota yang juga hemat energi, Jepang dapat dicontoh. Mereka mendaur ulang sumber energi serta menyerap gas rumah kaca. Pada tahun 2000, di Jepang keluar peraturan yang mengharuskan setiap gedung lebih dari lima tingkat harus membuat kebun atap atau kebun gantung. YUNI IKAWATI



Post Date : 06 Juni 2008