|
POZNAN, Kamis - Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Kamis (11/12), mengingatkan dunia agar tidak surut dalam perlawanan melawan ancaman perubahan iklim. Perlawanan tersebut sejalan dengan perjuangan menghadapi krisis ekonomi. Ban meminta, ”Hari ini kita membutuhkan solidaritas global menghadapi perubahan iklim, mendefinisikan kembali tantangan era kini.” Dunia harus memperbarui kesadaran akan situasi genting (sense of urgency). Dia berbicara di hadapan 145 menteri lingkungan dan pejabat tinggi seluruh dunia yang berkumpul di Poznan, Polandia, dalam rangka Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim. Konferensi tersebut saat ini sedang bergulat untuk mendorong penyelamatan kesepakatan yang harus ditandatangani tahun depan agar bisa berlaku mulai 2013 menggantikan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto berisi kesepakatan negara-negara penandatangannya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). ”Krisis ekonomi ini serius, tetapi saat menyentuh hal perubahan iklim, taruhannya amat tinggi,” ujar Ban. ”Krisis iklim akan memengaruhi potensi yang bisa menyejahterakan kita, kehidupan rakyat kita, sekarang dan pada masa mendatang,” tegasnya. ”Tidak boleh ada langkah surut dalam komitmen kita untuk pengurangan emisi karbon pada masa depan,” tambahnya. ”Kita harus menyusun komitmen ulang untuk menghadapi kondisi gawat darurat ini,” kata Ban. Dia mengatakan, pengelolaan krisis ekonomi membutuhkan perangsang global yang amat besar dan ”sebagian besar pengeluaran” harus digunakan untuk melawan dampak pemanasan global. ”Kami membutuhkan sebuah Kesepakatan Hijau Baru (Green New Deal).” Persoalan air Para ahli dunia telah mengatakan, potensi dampak perubahan iklim adalah melelehnya Greenland dan lapisan es Antartika yang dapat menaikkan permukaan air laut beberapa meter, sementara di sisi lain cadangan air tanah bagi jutaan orang akan semakin menipis pada pertengahan abad ini. Perdana Menteri Tuvalu Apisai Ielemia yang pulaunya terancam tenggelam jika Lautan Pasifik permukaan airnya naik pada konferensi tersebut mengatakan, ”Masa depan kami ada di tangan Anda-Anda.” ”Kami percaya bahwa Tuvalu sebagai sebuah bangsa memiliki hak untuk tetap ada selamanya. Kami adalah bangsa yang bangga akan budaya kami yang unik yang tak dapat direlokasi ke mana pun,” ungkapnya. ”Kami menunggu Amerika Serikat keluar dari zaman kegelapan karena tidak beraksi dan selanjutnya menjadi cahaya yang menuntun (kami) pada (era) perubahan iklim,” ujarnya. Pada Rabu (10/12), konferensi tersebut belum menyepakati besarnya pengurangan emisi karbon pada rancangan kesepakatan baru. Mereka masih berpegang pada Bali Action Plan yang disepakati Desember tahun lalu di Bali, Indonesia. Studi para ahli menyebutkan bahwa negara-negara industri seharusnya mengurangi emisinya hingga 25 persen-40 persen pada 2020 agar emisi karbon pada tingkat aman. Sayang, isu ini tidak disentuh lagi dan ditunda hingga tahun depan. (AP/isw) Post Date : 12 Desember 2008 |