Jakarta, Kompas - Dampak perubahan iklim dirasakan nyata oleh manusia di banyak negara. Di Indonesia, pemerintah didorong segera memiliki rencana adaptasi yang bisa diaplikasikan, termasuk program perlindungan sosial.
Perlindungan sosial tidak hanya diartikan pada soal keamanan, tetapi termasuk di dalamnya persoalan perlindungan warga dari krisis pangan yang mengancam.
”Isu pangan harus mulai dibicarakan,” kata Country Policy, Advocacy, Campaigns Manager Oxfam Indonesia Roysepta Abimanyu pada diskusi dengan media di Jakarta, Rabu (1/6). Hadir pula Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko.
Oxfam, organisasi yang dibentuk tahun 1942 untuk merespons krisis pangan, pada 1 Juni lalu mengeluarkan laporan ”Berkembang Menuju Masa Depan yang Lebih Baik”. Kampanye global terbaru itu banyak mengupas persoalan krisis pangan dunia yang ditandai dengan meningkatnya jumlah orang kelaparan.
Kondisi itu, di antaranya, disebutkan sebagai akibat dari sistem pangan yang merusak dan krisis lingkungan. Meskipun produksi pangan dan pendapatan meningkat secara global, kelaparan global meningkat tajam. Tahun 2011, jumlah orang kelaparan diperkirakan 144 juta, naik dari 100 juta orang (tahun 2008), karena gejolak harga pangan.
Menurut Roysepta, kondisi itulah yang menjadi dasar perlunya negara memiliki rencana strategis menghadapi kemungkinan buruk, di antaranya disebabkan perubahan iklim. Untuk itu, pemerintah harus bersiap-siap.
Siapkan investasi
Roysepta menambahkan, investasi nyata yang bisa dilakukan pemerintah, antara lain, memberi alokasi anggaran lebih besar untuk adaptasi perubahan iklim. Tanpa itu, Indonesia berisiko menghadapi permasalahan lebih besar lagi.
”Jangan hanya berharap pada bantuan asing. Hal itu semakin sulit karena Indonesia dimasukkan dalam negara berkembang pesat,” katanya. Bantuan asing, dalam skema bantuan internasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, banyak diberikan kepada negara-negara miskin dan berkembang dengan kemungkinan besar terdampak.
Menurut Tejo, salah satu adaptasi yang perlu dilakukan adalah pada sektor pertanian. Para petani yang rata-rata memiliki 0,7 hektar lahan membutuhkan solusi demi produktivitas pertanian yang tahan terhadap dampak perubahan iklim.
Yang terjadi selama ini, petani-petani tradisional di Indonesia minim bimbingan di tengah kondisi iklim yang tak menentu. ”Dari soal benih saja, petani di Nusa Tenggara, misalnya, menanam benih tertentu atas informasi dari toko, bukan dari penyuluh atau media,” kata Tejo.
Di Asia, Tejo mengatakan, konsumsi pupuk petani Indonesia tergolong tinggi, tetapi hasilnya rata-rata. Daya adopsi petani Indonesia terhadap varietas modern juga terbilang cepat.
Kondisi itu sebenarnya peluang yang bisa dimanfaatkan pemerintah. ”Kalau pemerintah ingin memberi pendampingan teknologi, berikan yang sederhana. Petani Indonesia itu petani tradisional dengan lahan sempit,” katanya.
Menurut Roysepta, strategi pemerintah dalam hal ketahanan pangan sangat penting. Ia mengakui, strategi itu sudah ada. Hanya saja perlu diperkuat lagi sehingga tidak hanya mengandalkan impor bahan pangan sebagai solusi krisis pangan.
Secara global, Oxfam International mengingatkan, bantuan pangan global bisa menghancurkan ketahanan produk lokal. Hal itu yang harus dihindari. (GSA)
Post Date : 04 Juni 2011
|