|
Semarang, Kompas - Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota atau DP2K Semarang, Jawa Tengah, mendesak Pemerintah Kota Semarang serius dalam pengaturan dan pengetatan terhadap ketentuan pengambilan air bawah tanah dan pembatasan bangunan baru di wilayah Semarang bawah. Hal ini harus dilakukan agar kawasan permukiman di wilayah itu tidak makin tenggelam, serta terus- menerus jadi langganan banjir akibat limpasan pasang laut dan hujan. Harapan ini diungkapkan Ketua DP2K Semarang, Prof Eko Budihardjo, Kamis (9/2), seusai berkeliling Kota Semarang dengan helikopter bersama beberapa anggota DP2K Semarang. ”Jangan lagi mengidap centremania, tetapi harus menciptakan pusat pertumbuhan baru di kawasan pinggiran dengan konsep ramah lingkungan. Kampus Universitas Diponegoro di Tembalang dan Universitas Negeri Semarang di Sekaran merupakan contoh yang baik,” ujarnya. Dari udara tampak sebagian besar kawasan permukiman di wilayah pesisir pantai, termasuk di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, terendam oleh rob. Bahkan kawasan perkampungan nelayan Tambaklorok, Kecamatan Semarang Utara, dikepung air. Di kawasan pusat Kota Semarang dipadati permukiman dan gedung-gedung bertingkat. Hampir tak ada ruang terbuka hijau. Di daerah pinggiran, terutama di kawasan Semarang atas, juga mulai dirambah permukiman. Menurut Eko, untuk program jangka pendek, sambil menunggu penyelesaian proyek-proyek besar, penanggulangan rob dan banjir bisa diatasi dengan teknologi. Misalnya dengan pembangunan dam atau tanggul tepi pantai, rumah panggung, rumah terapung, atau alternatif lain pilihan para insinyur sipil. Nurdien HK, anggota DP2K Semarang, menilai, Pemkot Semarang tak serius mengatasi masalah perkotaan, terutama banjir. ”Mestinya ada perencanaan menyeluruh,” ujarnya. (son) Post Date : 10 Februari 2012 |