|
KAMIS (9/9) siang sekitar pukul dua di Dusun Brengkok, Desa Kunti, Kecamatan Sampung, Ponorogo, panas matahari terasa terik membakar tubuh. Dengan bertelanjang kaki, seorang nenek yang akrab disapa Mbah Mariyam (75) menyusuri jalan setapak di tepian tegalan yang lama dibiarkan kering. Langkah kakinya yang mulai keriput pendek-pendek, tetapi tetap berirama seolah mengikuti ritme sebuah lagu. Sambil menggendong jun (tempayan air) di punggungnya dengan selendang lusuh yang dibebatkan, Mbah Mariyam terus menyusuri jalan setapak naik-turun tebing yang curam dengan ketinggian hampir tiga meter dari permukaan tanah. Setelah berjalan sejauh sekitar dua kilometer dan menuruni tebing dengan kemiringan hampir 90 derajat, sampailah ibu dua anak yang selalu mengenakan kutang dan kain panjang ini pada sebuah sumur di sebuah lembah yang dikelilingi pohon jati serta bambu yang meranggas terpanggang oleh sinar matahari. Dengan cekatan, kedua tangan istri petani gurem itu menimba air sumur dan memasukkan ke dalam tempayan. Setelah penuh, ia menggendongnya kembali dan berjalan menapaki jalan yang semula dilewatinya. Perbedaannya, ketika menuju sumur, Mbah Mariyam harus menuruni tebing, sekarang ia mendaki. Sesampai di rumah yang berdinding tembok tanpa dilapisi semen dan berlantai tanah, perempuan berkulit kecoklatan terpanggang terik matahari itu menuang tempayan berisi air ke dalam tandon di pojok dapur yang akrab disebut genuk. Setelah menghela napas sejenak dan minum air dari kendi, ia kembali menenteng tempayan kosong dan bergegas menuju sumur. Dalam satu hari, ia bisa lima sampai lima belas kali bolak-balik mengambil air. Begitulah aktivitas rutin yang dijalani Mbah Mariyam sejak puluhan tahun menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya. "Sudah biasa Mbak, kalau capek ya istirahat dahulu, tetapi sebentar saja nanti keburu malam," katanya. Di usianya yang tidak tergolong muda lagi, Mbah Mariyam termasuk pekerja ulet dan tekun. Mengambil air setiap hari dari sumur merupakan aktivitas sampingan setelah tugas sebagai istri dan ibu selesai. Meski memiliki suami dan anak, aktivitas mengambil air tetap dilakukan Mbah Mariyam. Dua anaknya perempuan, satu sudah menikah dan repot mengurus anak. Anaknya yang satu lagi pergi menjadi tenaga kerja di Malaysia. Suaminya menggarap ladang di desa sebelah. Air yang diambil digunakan untuk minum, memasak, mencuci perabotan, serta untuk minum empat sapi. Sebenarnya, air yang dibutuhkan untuk ternak sapi lebih banyak daripada untuk keperluan sehari-hari. Namun, ia tetap harus memberi minum sapinya yang tak mungkin dibawa ke sumur. Di sebelah sumur terdapat sebuah bangunan semipermanen tanpa atap yang berukuran sekitar 2 x 1,5 meter yang dibatasi sekat. Tempat inilah yang disebut kamar mandi umum warga Dusun Brengkok dan Dusun Timokerep, Desa Kunti. Seluruh warga, tua-muda, laki-perempuan, mandi di bak terbuka dekat sumur. "Di sini sudah tidak ada lagi rasa malu mandi bersama laki perempuan. Kalau malu, ya enggak mandi, enggak mungkin nunggu sepi," kata Sri Handayani (19), gadis remaja yang baru tamat sekolah menengah atas. RUTINITAS yang dijalani Mbah Mariyam merupakan aktivitas rutin sebagian dari 300 keluarga warga Dusun Brengkok dan Dusun Timokerep. Dua dusun bertetangga ini setiap musim kemarau kesulitan air. Satu-satunya sumber air hanya sumur buatan Belanda di tengah ladang itu. Memelihara ternak seperti kambing, ayam, dan sapi menjadi sumber mata pencaharian kedua selain bertani di ladang. Di musim kemarau panjang seperti sekarang ini, ternak peliharaan dijual apabila ada keperluan mendadak, seperti membayar uang sekolah atau hajatan. Meski hidup susah karena setiap tahun kesulitan air, Mbah Mariyam dan warga lainnya enggan pindah. Untuk makan sehari-hari, mereka menjemur ketela dan jagung hasil panen. Ketela dikupas dan dijemur sehingga menjadi gaplek yang bisa disimpan dan tahan lama. Beberapa warga sudah mencoba menggali sumur di dekat rumah masing-masing. "Tetapi, sampai 32 meter belum keluar air. Batunya besar-besar," kata Mulyadi (45) sambil menunjuk lubang galian di depan rumahnya yang akan dibuat sumur. Perjuangan warga untuk mendapatkan bantuan air dari pemerintah tidak pernah berhenti. "Kemarin sudah disurvei petugas dari kecamatan dan kota, tetapi sampai sekarang belum ada kabar beritanya," ujarnya. Di atas Desa Kunti, tepat di lereng perbukitan, terdapat Desa Pager Wukir yang penduduknya juga mengalami bencana kekeringan dan kesulitan air bersih. Bahkan, mereka mengambil air kebutuhan sehari-hari di kubangan sawah. Kekeringan dan kesulitan air bersih juga dialami warga Desa Babatan dan Sampung. Di Ponorogo, sebagian kecamatan mulai mengalami kekeringan cukup parah, antara lain Kecamatan Bungkal, Kecamatan Sawo, dan Kecamatan Suko. Mereka sangat memimpikan pasokan air yang diangkut truk setiap hari dan selang-selang panjang dari sumber air ke penampungan di rumah. (nik) Post Date : 11 Oktober 2004 |