|
Jakarta, Kompas - Kebiasaan membuang sampah sembarangan mencerminkan adanya budaya terabas pada masyarakat Indonesia. Budaya terabas yang terjadi hampir di setiap lini kehidupan ini disebabkan oleh tidak adanya tokoh panutan karena tokoh-tokoh yang ada memang tidak memberikan contoh yang baik. Hal itu dikemukakan antropolog Kartini Sjahrir di Jakarta, Jumat (9/1). Antropolog Meutia Hatta Swasono yang dihubungi terpisah menyatakan, membuang sampah pada tempatnya terkait dengan pemahaman dan kebiasaan masyarakat. Dari kebiasaan membuang sampah itu dapat terlihat tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Menyitir antropolog Prof Kuntjaraningrat, Kartini mengatakan bahwa cara membuang sampah memang mencerminkan budaya terabas dalam masyarakat, budaya serba jalan pintas tanpa memedulikan rambu-rambu etik, baik etik bekerja maupun etik pertemanan. Yang ada hanya kepentingan diri sendiri. Budaya terabas membuat orang terpusat hanya pada dirinya dan tidak peduli orang lain dan sekelilingnya. "Ini gambaran masyarakat Indonesia," katanya. Kartini menambahkan, persoalan membuang sampah merupakan personifikasi dari buruknya keadaan masyarakat di mana banyak korupsi dan tidak terjadi transparansi. Kartini yakin jika hal-hal seperti ini dibenahi dan dikurangi, masalah sampah akan ikut berkurang dengan sendirinya. Selama pemerintahan masih semrawut, soal sampah juga tidak akan bisa terselesaikan. Untuk memotong budaya terabas, diperlukan contoh pemerintahan yang bersih. "Kalau dia bekerja di lembaga pemerintah, berarti dia milik publik dan tidak boleh mencari kekayaan dari jabatannya," tambahnya. Terkait pemahaman Meutia Hatta Swasono menyatakan bahwa persoalan membuang sampah terkait pada pemahaman dan kebiasaan. Masyarakat, terutama pada usia dini, perlu lebih intensif dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar. "Apa yang sudah terjadi pada yang dewasa, saya kira mereka menganggap membuang sampah sembarangan itu hal yang wajar, bukan sesuatu yang salah," paparnya. Maka jika seseorang merusak public property, membuang sampah yang membuat pemandangan menjadi tidak sedap, ia tidak merasa bersalah karena tidak merasa dirinya bagian dari lingkungan. Karena itu, keberhasilan memisahkan sampah kering dan sampah basah seperti yang dilakukan di negara maju, bisa menjadi ukuran kesadaran lingkungan dan kemampuan untuk mematuhi peraturan. "Jadi, orang yang bisa memisahkan sampah atau mematuhi peraturan, menjadi ukuran sifat modern atau kemajuan," tambah Meutia. Menurut dia, inilah yang hilang dari pendidikan nasional dan ini masalah yang dari sisi kebudayaan tidak kelihatan, namun harus ditanamkan. Justru yang membangun sikap mental dan akhlak itulah yang harus diberi porsi lebih penting di dalam pendidikan. "Pendidikan ini bukan saja di sekolah, tetapi juga di luar sekolah, ditanamkan kepada anak-anak oleh orangtuanya," kata Meutia. Disiplin sampah juga menjadi ukuran apakah bangsa Indonesia belum maju dari segi mentalitas atau sudah maju. "Saya sering lihat mobil yang bagus, tapi dari mobil tersebut keluar tangan orang membuang sampah. Di sini kita melihat ada kesenjangan kemampuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dengan kemampuan untuk mengasah mentalitas dan budi," paparnya. Meutia menyayangkan, justru yang dikembangkan adalah unsur-unsur yang sifatnya naluriah, misalnya mewajarkan seks bebas, minum minuman keras, perilaku kasar lewat media atau sarana audio visual. "Mengapa justru merawat hal-hal negatif itu dan tidak merawat yang lebih canggih dari itu, sesuatu yang lebih mengangkat harkat kemanusiaan?" ujarnya. (LOK) Post Date : 12 Januari 2004 |